Ibnu Asakir meriwayatkan Hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) melarang Umair bin Abi Waqqas ikut dalam perang Badar karena dianggap masih kecil. Tapi anehnya, larangan itu membuat Umair terpukul dan menangis. Sekalipun masih kecil, di dalam diri Umair sudah tertanam kuat bahwa perang membela Islam itu sebuah kemuliaan yang amat tinggi.
Melihat reaksi Umair, Rasulullah SAW luluh juga. Beliau kemudian mengijinkan anak yang belum cukup umur itu ikut berjihad.
Kisah lain diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah Asy-Sya’bi yang terjadi pada perang Uhud. Ada seorang ibu dengan sangat semangat mengantarkan anaknya yang masih kecil kepada Rasulullah SAW agar diikutkan perang. Dia berharap sekali agar Rasulullah SAW mengizinkan anaknya berpartisipasi dalam berjihad seraya berkata, “Ya Rasulullah, ini anakku sudah siap menyertai Anda berperang.” Rasulullah SAW kemudian memerintahkan anak itu membantu membawa peralatan perang.
Pada waktu perang berlangsung, anak tersebut terluka. Ia lalu mendatangi Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Hai anakku, semoga engkau tidak gelisah dan bersedih hati!” Dengan tegas ia menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.”
Kisah di atas adalah sebuah gambaran bagaimana para sahabat Rasulullah SAW berhasil mendidik putra-putranya mencintai Islam sepenuh jiwa dan raganya. Sekarang pertanyaannya, bisakah kita mendidik anak-anak kita menjadi anak seperti kisah di atas ?
Harus kita akui bahwa menjadi orangtua pada zaman sekarang tidaklah mudah. Apalagi jika mengharapkan anak yang tidak sekedar pintar, melainkan juga taat dan mencintai Islam sepenuhnya.
Untuk mendidik anak agar saleh, kita tidak bisa sepenuhnya menyerahkan kepada sekolah. Tapi peran aktif orangtua juga amat diperlukan dalam masalah ini. Orangtua harus menjadi contoh yang baik bagi anaknya.
Mana mungkin anak mau disuruh shalat atau membaca al-Qur`an, jika orangtuanya tidak shalat dan tidak senang membaca Kitab Suci tersebut.
Nah, di bawah ini ada beberapa langkah yang bisa dilakukan orangtua dalam mendidik anaknya agar menjadi anak yang saleh dan mencintai Islam.
1. Menanamkan Akidah dan Syariah Sejak Dini
Menanamkan akidah yang kokoh adalah tugas utama orangtua. Orangtualah yang punya pengaruh besar dalam tumbuh dan berkembangnya sendi-sendi agama dalam diri anak. Rasulullah SAW bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (Riwayat Bukhari).
Tujuan penanaman akidah pada anak adalah agar si buah hati mengenal secara benar siapa Tuhannya. Sejak masih dalam kandungan, seorang ibu bisa memulainya dengan sering bersenandung mengagungkan asma Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT). Begitu lahir, si bayi dibiasakan mendengarkan ayat-ayat al-Qur`an.
Pada usia dini, anak diajak untuk belajar menalar bahwa dirinya, orangtuanya, seluruh keluarganya, manusia, dunia, dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah SWT. Dari sini orangtuanya bisa menyampaikan kepada anaknya, mengapa manusia harus beribadah dan taat kepada Allah SWT.
Selanjutnya, anak dikenalkan dengan asma dan sifat-sifat Allah SWT. Dengan cara ini anak mengetahui betapa Allah Maha Besar, Maha Perkasa, Maha Kaya dan seterusnya. Jika anak bisa memahaminya dengan baik, insya Allah, akan tumbuh sebuah kesadaran pada dirinya untuk senantiasa mengagungkan Allah SWT dan bergantung hanya kepada-Nya. Lebih dari itu, kita berharap dengan itu akan tumbuh benih kecintaan anak kepada Allah SWT; cinta yang akan mendorongnya gemar melakukan amal yang dicintai Allah SWT.
Kemudian, penanaman akidah pada anak harus disertai dengan pengenalan hukum-hukum syariah secara bertahap. Proses pembelajarannya bisa dimulai dengan memotivasi anak untuk senang melakukan hal-hal yang dicintai oleh Allah SWT misalnya, dengan mengajak shalat, berdoa, atau membaca al-Qur`an bersama.
Yang tidak kalah penting adalah menanamkan akhlak seperti berbakti kepada orangtua, santun dan sayang kepada sesama, bersikap jujur, berani karena benar, tidak berbohong, bersabar, tekun bekerja, bersahaja, sederhana, dan sifat-sifat baik lainnya. Jangan sampai luput untuk mengajarkan bahwa itu semua semata-mata untuk meraih ridha Allah SWT, bukan untuk mendapatkan pujian atau pamrih duniawi.
2. Kerjasama Ayah dan Ibu
Anak akan lebih mudah memahami dan mengamalkan hukum jika dia melihat contoh langsung dari orangtuanya. Orangtua adalah guru dan orang terdekat bagi si anak yang harus menjadi panutan. Oleh karenanya, orangtua dituntut untuk bekerja keras memberikan contoh dalam memelihara ketaatan serta ketekunan dalam beribadah dan beramal saleh. Insya Allah, dengan begitu anak akan mudah diingatkan secara sukarela.
Tentu saja hal yang demikian membutuhkan kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu masing-masing mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak, tentu anak akan bingung. Bahkan mungkin akan memanfaatkan orangtua menjadi kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya. Ambil contoh, seorang ayah sudah bersusah payah agar anaknya mau shalat. Namun, karena sang ibu merasa tidak perlu, tentu saja akan membingungkan anaknya dan menjadikan si ibu sebagai alasan dia untuk tidak shalat.
3. Peran Lingkungan, Keluarga, dan Masyarakat
Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak belumlah cukup untuk mengantarkan si anak menjadi manusia yang berkepribadian Islam. Anak juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan dimana dia beraktivitas, baik di sekolah, rumah, maupun masyarakat secara luas.
Di sisi inilah, lingkungan dan masyarakat memiliki peran penting dalam pendidikan anak. Masyarakat yang menganut nilai-nilai, aturan, dan pemikiran Islam, seperti yang dianut juga oleh sebuah keluarga Muslim, akan mampu mengantarkan si anak menjadi seorang Muslim sejati.
Potret masyarakat sekarang yang sangat dipengaruhi oleh nilai dan pemikiran materialisme, sekularisme, permisivisme, hedonisme, dan liberalisme merupakan tantangan besar bagi keluarga Muslim.
Hal ini yang menjadikan si anak hidup dalam sebuah lingkungan yang membuatnya berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia mendapatkan pengajaran Islam dari keluarga, namun di sisi lain anak bergaul dalam lingkungan yang sarat dengan nilai yang bertentangan dengan Islam.
Tarik-menarik pengaruh lingkungan dan keluarga akan mempengaruhi sosok pribadi anak. Untuk mengatasi persoalan ini, maka dakwah untuk mengubah sistem masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam mutlak harus dilakukan. Hanya dengan itu akan muncul generasi Islam yang taat syariah. Insya Allah. *Ernawaty, pengajar di TK Ya Bunayya Surabaya.
Sumber : www.hidayatullah.com
Di Majalah Suara Hidayatullah Edisi September 2009