Nama Bayi Laki-Laki Dan Perempuan

Monday, July 27, 2009

ASAL PENSYARI’ATAN KURBAN



Oleh : Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar

Kurban disyariatkan berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’

Dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala

“Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah [Al-Kautsar : 2]

Ibnu Katsir Rahimahullah dan selainnya berkata, “Yang benar bahwa yang dimaksud dengan an-nadr adalah menyembelih kurban, yaitu menyembelih unta dan sejenisnya” [1]

Sedangkan dari sunnah adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Beliau menyembelih dua ekor kambing bertanduk dan gemuk dan beliau membaca basmalah dan bertakbir” [2]

Demikian juga hadits dari Al-Barra bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami di hari raya kurban, lalu beliau berkata, ‘Janganlah seorang pun (dari kalian) menyembelih sampai di selesai shalat’. Seseorang berkata, ‘Aku memiliki inaq laban, ia lebih baik dari dua ekor kambing pedaging’. Beliau berkata, ‘Silahkan disembelih dan tidak sah jadz’ah dari seorang setelahmu” [3]

Dan dari ijma’ adalah apa yang telah menjadi ketetapn ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang tentang pensyari’atan kurban, dan tidak ada satu nukilan dari seorang pun yang menyelisihi hal itu. Dan sandaran ijma’ tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, ‘Kaum muslimin telah sepakat tentang pensyariatan kurban [4]. Sedangkan Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “Dan tidak ada perselisihan pendapat bahwa kurban itu termasuk syi’ar-syi’ar agama [5].

HIKMAH PENSYARIATAN KURBAN

Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan kurban untuk mewujudkan hikmah-hikmah berikut.

[1]. Mencontoh bapak kita Nabi Ibrahim “Alaihis Salam yang diperintahkan agar menyembelih buah hatinya (anaknya), lalau ia meyakini kebenaran mimpinya dan melaksanakannya serta membaringkan anaknya di atas pelipisnya, maka Allah memanggilnmya dan menggantikannya dengan sembelihan yang besar. Mahabenar Allah Yang Mahaagung, ketika berfirman.

“Artinya : Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah mebenarkan mimpi itu’, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” [Ash-Shaaffaat : 102-107]

Dalam penyembelihan kurban terdapat upaya menghidupkan sunnah ini dan menyembelih sesuatu dari pemberian Allah kepada manusia sebagai ungkapan rasa syukur kepada Pemilik dan Pemberi kenikmatan. Syukur yang tertinggi adalah kemurnian ketaatan dengan mengerjakan seluruh perintahNya.

[2]. Mencukupkan orang lain di hari ‘Id, karena ketika seorang muslim menyembelih kurbannya, maka ia telah mencukupi diri dan keluarganya, dan ketika ia menghadiahkan sebagiannya untuk teman dan tetangga dan kerabatnya, maka dia telah mencukupi mereka, serta ketika ia bershadaqah dengan sebagiannya kepada para fakir miskin dan orang yang membtuhkannya, maka ia telah mencukupi mereka dari meminta-minta pada hari yang menjadi hari bahagia dan senang tersebut.

HUKUM BERKURBAN

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum kurban menjadi beberapa pendapat, yang paling masyhur ada dua pendapat, yaitu.

Pendapat Pertama
Hukum kurban adalah sunnah mu’akkadah, pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak berdosa. Inilah pendapat mayoritas ulama salaf dan yang setelah mereka.

Pendapat Kedua
Hukum kurban adalah wajib secara syar’i atas muslim yang mampu dan tidak musafir, dan berdosa jika tidak berkurban. Inilah pendapat Abu Hanifah dan selainnya dari para ulama.

Setiap pendapat ini berdalil dengan dalil yang telah dipaparkan dalam kitab-kitab madzhab. Pendapat yang menenangkan jiwa dan didukung dengan dalil-dalil kuat dalam pandangan saya bahwa hukum kurban adalah sunnah mu’akkadah, tidak wajib.

Ibnu Hazm Rahimahullah berkata, “Kurban hukumnya sunnah hasanah, tidak wajib. Barangsiapa meninggalkannya tanpa kebencian terhadapnya, maka tidaklah berdosa [6]

Sedangkan Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban kurban atas orang yang mampu. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa kurban itu sunnah bagi orang yang mampu, jika tidak melakukannya tanpa udzur, maka ia tidak berdosa dan tidak harus mengqadha’nya. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kurban itu wajib atas orang yang mampu. [7]

[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_________
Foote Note
[1]. Tafsir Ibni Katsir (IV/558), Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi (I/249) dan Tafsiir Al-Qurthubi (XI/218]
[2]. Hadits Riwayat Bukhari dan Musim lihat Fathul Baari (X/9) dan Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/120).
[3]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim lihat Fathul Baari (X/6) dan Shahihh Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/113)
[4]. Al-Mughni (VIII/617)
[5]. Fathul Baari (/3)
[6]. Al-Muhalla (VIII/3)
[7]. Shahiih Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/110) dan lihat dalil dua pendapat ini dan perdebatannya dalam Fathul Baari (X/3), Bidaayatul Mujtahid (I/448), Mughniyul Mubtaaj (IV/282) Majmu Al-Fatawaa (XXVI/304), Al-Mughni dan Syarhhul Kabiir (XI/94) dan Al-Mughni (VIII/617) dan setelahnya.

Monday, July 20, 2009

Amalan Jahiliyyah Disangka Ajaran Agama




Oleh : Tuan Guru Haji Nik Abdul Aziz Nik Mat.
Ruangan Tazkirah, Harakah.

Kesetiaan insan terhadap ALLAH swt diikat dengan sebuah perjanjian dua kalimah syahadah, dengan itu manusia seolah-olah seorang kontraktor yang telah menandatangani perjanjian untuk sesuatu tender bagi melaksanakan suatu projek yang besar. Kesempurnaan projek yang telah dipersetujui bergantung sejauh mana ia memenuhi syarat-syarat dan juga plan yang telah ditetapkan.

Dalam ertikata lain bahawa keimanan seseorang hanya akan diiktiraf oleh ALLAH apabila ia melaksanakan ikrar. Dengan melaksanakan segala peraturan yang ditetapkan di dalam syariat islam. Sekiranya perlaksanaan tidak memenuhi syarat rukun yang digariskan oleh syariat, bererti mereka tidak melaksanakan ikrar sebagaimana kontraktor yang melakukan kerja binaan tanpa merujuk kepada plan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan.

Setiap orang mukmin bukan sahaja mereka menghayati kehendak kedua kalmah syahadah yang telah diikrarkan tapi juga mereka sentiasa membaharui ikrar disetiapkali mendirikan solat. Mereka bersumpah setia bahawa segala urusan kehidupan mereka samaada dalam urusan ibdah, siasah, muamalah, nikah kawin dan lain-lainnya. Hatta kepada perkara yang bersangkutan dengan mati, hubungan orang yang hidup dengan orang yang telah mati. Manusia berjanji akan menguruskannya menurut kehendak ALLAH yakni dengan mematuhi syariat ALLAH.

Jesteru itu dalam memperkatakan hal-hal yang berhubung dengan soal kematian iaitu penyelenggaraan dan hubungan dengan penghuni alam berzakh, maka manusia tidak perlu mengambil atau meniru tradisi dan budaya jahiliyyah. Segala kaifiat dan cara menguruskan jenazah telah dijelaskan oleh sunnah Nabi s.a.w.

Adalah sangat malang bagi masyarakat pak turut mereka sering melakukan perkara-perkara yang tidak mempunyai alasan Nas atau Dalil samaada dalil al-Quran atau sunnah. Mereka melakukan perkara yang bercanggah dengan petunjuk Rasulullah, mereka melakukan secara turun temurun, berdasarkan bahawa perkara itu dilakukan oleh ibu bapa dan nenek moyang mereka.

Terdapat orang yang berusaha dan membelanjakan wang yang banyak untuk menunjukkan bukti kasih sayang mereka terhadap ibu bapa mereka yang telah mati atau suami serta isteri yang meninggal dunia, ada diantara mereka mendirikan bangunan atau binaan dari batu mar-mar yang mahal lalu mereka menganggap bahawaitu bukti kasih sayang mereka.

Padahal binaan yang mereka dirikan itu tidak memberi sebarang erti kepada orang yang telah mati, ia bukan sahaja suatu perbuatan sia-sia yang membazir, malah perbuatan itu dianggap oleh islam sebagai perbuatan
.

Panduan

Islam telah menggariskan panduan yang sangat mudah bagi seorang anak, suami atau isteri yang hendak menyatakan rasa kasih sayang terhadap mereka yang telah berada di alam Barzakh itu dengan cara mendoakan mereka semoga ALLAH ampunkan dosanya, dihindarikan dari segala pancaroba dan huru hara di alam kubur. Mudah-mudahan ALLAH s.w.t. kurniakan ke atas ruhnya sepenuh rahmat agar tanah perkuburan itu menjadi tempat istirehat yang aman sebelum mereka dimasukkan ke dalam syrga ALLAH di akhirat kelak.

Pengarang kitab at-Tazkirah iaitu al-Qurtubi dengan jelas mengatakan bahawa diantara amalan jahiliyyah ialah mengadakan suatu himpunan beramai-ramai diperkuburan, di masjid atau di rumah dengan berzikir dan juga lain-lain bacaan, serta mengadakan jamuan makan minum dengan tujuan untuk orang mati, disebut orang sebagai kenduri Arwah. Dengan jelas perbuatan itu tiada Nas yang menjadi rujukannya dan tiada petunjuk sunnah yang menjadi ikutan.

Sesungguhnya ia adalah dari perbuatan jahiliyyah.

Kenyataan ini mungkin agak keras dan pahit boleh jadi suatu penjelasan yang mengejutkan terutama terhadap mereka yang mengamalkan perkara tersebut secara ikut-ikutan dan membuta tuli tanpa mengkaji dari sudut ilmiyah. Tetapi inilah hakikat Islam yang mesti diakui oleh penganutnya yang sedia kembali kepada al-Quran dan Sunnah.

Tidak dapat dinafikan bahawa amalan tersebut telah berakar umbi di dalam masyarakat melayu, sehingga sebahagian dari mereka menganggap bahawa amalan tersebut adalah merupakan amalan agama yang mesti dilakukan setiap kali berlaku kematian.

Elok juga dijelaskan di sini bahawa tidak ada manusia lebih mengasihi dan sayang terhadap orang lain yang mengatasi kasih-sayang Nabi s.a.w. terhadap umatnya. Carilah di dunia ini jika ada manusia yang lebih sayang terhadap orang lain atau terhadap ibu bapa mereka jika dibandingkan dengan kasih sayang Nabi terhadap umatnya. Walaupun Nabi terlalu sayang terhadap umatnya terutama terhadap para sahabatnya yang sentiasa membantu Nabi di dalam suasana damai dan perang namun Nabi tidak pernah melakukan majlis zikir atau tahlil untuk sahabat-sahabatnya r.a yang mati.

Orang yang paling sayang terhadap Nabi s.a.w. adalah para sahabatnya yang sentiasa berada di sisi Nabi siang dan malam, namun pernahkah terdapat para sahabat berhimpun dan berzikir dan bertahlil untuk Nabi s.a.w. ? jika perkara itu tidak dilakukan oleh Nabi dan juga para sahabat maka dari manakah punca amalan itu diambil.

Sejarah menunjukkan bahawa sebelum Islam datang ke tanah melayu, orang-orang melayu telah menganut agama hindu. Jesteru itu terdapat banyak tradisi dan budaya hindu yang masih terdapat dalam amalan orang melayu.

Contohnya apabila orang Islam mengadakan upacara nikah, mereka lakukan menurut islam berdasarkan rukun nikah seperti yang ditetapkan oleh syariat. Tapi selepas itu mereka mengadakan upacara persandingan dengan upacara menepung tawar, menabur beras kunyit dan sebagainya, sedangkan persandingan dan segala tradisi tersebut adalah dari kebudayaan hindu.

Demikianlah samaada disedari atau tidak sebahagian besar orang melayu telah mencampur adukkan Islam dan kebudayaan hindu dalam urusan nikah kahwin adalah menjadi perkara lumrah dalam masyarakat melayu. Maka demikian juga orang melayu telah secara sedar atau tidak telah mengambil tradisi jahiliyyah dalam pengurusan mayat.

Apa yang paling mendukacitakan, mereka menganggap amalan tersebut sebahagian dari amalan Islam, padahal Rasulullah sa.w. tidak pernah menunjukkan contoh seperti itu dalam sunnahnya.

Monday, July 13, 2009

Al Qur'an (dalam bahasa Arab ??????) adalah Kitab Suci Islam




Umat Muslim percaya bahwa Al Qur'an merupakan Firman Allah sebagai puncak dari wahyu-wahyu yang diturunkan untuk manusia. Al Qur'an diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW dalam kurun waktu 23 tahun. Al Qur'an terdiri dari 114 surat dan 6.236 ayat (jumlah ayat bisa berbeda, bukan dalam perbedaan isi, tetapi cara menghitung). Qur'an menceritakan kembali kisah-kisah yang didapati pada kitab suci Yahudi dan Kristen (Taurat dan Alkitab), meskipun terdapat banyak perbedaan dalam detailnya. Nama-nama dalam Alkitab seperti Adam, Nuh, Ibrahim, Isa putra Maryam serta Musa disebutkan dalam Al Qur'an sebagai nabi.

Fungsi-fungsi Al-Quran sesuai dengan Surat Al-Baqarah:185 antara lain: .. bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk (Al-Huda) bagi manusia dan penjelasan-penjelasan (Al-Bayan) mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)(Al-Furqan)..

Al-Huda - Petunjuk, semua ayat dalam Al-Quran mempunyai petunjuk

Al-Bayan - Penjelas, ayat-ayat Al-Quran bisa dijelaskan oleh Al-Quran itu sendiri

Al-Furqan - Pembeda, merupakan pembeda antara Haq dan Bathil. Dalam Al-Quran kejelasan antara hitam atau putih merupakan pedoman dalam bertindak bagi manusia. Wilayah abu-abu justru merupakan hal yang akan mengacaukan keseimbangan dalam tindakan manusia.

AdzDzikri - Alat untuk mengingat, Al-Quran merupakan alat untuk mengingatkan manusia akan misi hidup mereka juga agar tindakan mereka tidak melampaui garis-garis yang sudah ditetapkan.

Al-Muhaymin - Batu ujian, yaitu alat untuk menentukan / menguji suatu kebenaran pada kitab-kitab sebelumnya.(Al-Maaidah/Hidangan:48)

Al-Mauidzah - Nasihat dalam menetapi perjuangan dan pelaksanaan perintah-perintah dalam Al-Quran

Ahsanul Hadits - Perkataan yang baik, inilah hadits yang paling shahih, karena langsung dari Allah

Hubungan dengan Kitab-Kitab lain

Al-Quran mempunyai hubungan dengan kitab-kitab sebelumnya yaitu Taurat, Zabur/Mazmur dan Injil yaitu sebagai Al-Mushaddiq atau pembenar dan sebagai Al-Muhaymin atau batu ujian/tolok ukur kebenaran bagi kitab-kitab tersebut.

Berkaitan dengan isi Taurat, Zabur, dan Injil dalam pandangan Islam, Al-Quran adalah penyempurna bagi kitab-kitab tersebut dan umat Muslim diharuskan percaya pada isi-isi Al-Quran. Hal ini disebabkan oleh berbagai pendapat bahwa kitab-kitab yang terdahulu itu yang awalnya sesuai dengan ajaran Islam sudah mengalami berbagai perubahan di tangan manusia sehingga isi dari kitab-kitab tersebut harus dilihat lagi dalam Al-Quran yang dalam salah satu ayatnya disebutkan bahwa kemurniannya akan terpelihara. Nabi Muhammad SAW pun bersabda bahwa sebaiknya berita dari kitab-kitab yang terdahulu tersebut tidak dibenarkan maupun disalahkan tetapi dilihat lagi dalam Al-Quran.

Jenis-Jenis Ayat

Ayat-ayat Al-Quran terbagi atas dua kategori yang bisa dibagi lagi yaitu

Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mu-tasyaabihaat.. (Keluarga Imran/Amram : 7)

Ayat muhkamat adalah ayat yang sifatnya jelas sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang artinya samar, yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang telah membersihkan qalbunya dari pemahaman atau ajaran lain selain Din Allah, serta menggabungkan diri dengan Rasul yang melaksanakan ibadah penegakkan Din Allah (Islam).

Friday, July 10, 2009

Bagaimanakah kita diciptakan




Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At Tin : 5)

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas bisa menjadi bahan renungan buat kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan mata. Alangkah sempurna penciptaannya dan alangkah indahnya!

Lalu pernahkan kita memikirkan dari mana kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap penciptaannya? Pernahkah terpikir di benak kita bahwa tadinya kita berasal dari tanah dan dari setetes mani yang hina?

Pembahasan berikut ini mengajak Anda untuk melihat asal kejadian manusia agar hilang kesombongan di hati dengan kesempurnaan jasmani yang dimiliki dan agar kita bertasbih memuji Allah ‘Azza wa Jalla dengan kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada para Malaikat-Nya sebelum menciptakan Adam ‘Alaihis Salam :

“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” (Shad : 71)

Begitu pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan orang-orang musyrikin yang ingkar dan sombong tentang dari apa mereka diciptakan. Dia Yang Maha Tinggi berfirman : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.” (Ash Shaffat : 11)

Dua ayat di atas dan ayat-ayat Al Qur’an lainnya yang serupa dengannya menunjukkan bahwasanya asal kejadian manusia dari tanah. Barangsiapa yang mengingkari hal ini, sungguh ia telah kufur terhadap pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sendiri.

Berkaitan dengan hal di atas, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menentukan tahapan-tahapan penciptaan itu dan begitu pula Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah memberikan kabar kepada kita akan hal tersebut dalam hadits-haditsnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Al Mukminun : 12-14)

“Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi … .” (Al Hajj : 5)

Ayat-ayat di atas menerangkan tahap-tahap penciptaan manusia dari suatu keadaan kepada keadaan lain, yang menunjukkan akan kesempurnaan kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa ‘Alaa saja yang berhak untuk diibadahi.

Begitu pula penggambaran penciptaan Adam ‘Alaihis Salam yang Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam yang berbau busuk dan diberi bentuk.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (Al Hijr : 26)

Tanah tersebut diambil dari seluruh bagiannya, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam (sepenuh telapak tangan) tanah yang diambil dari seluruh bagiannya. Maka datanglah anak Adam (memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna kulit dan tabiat). Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan di antara yang demikian. Di antara mereka ada yang bertabiat lembut, dan ada pula yang keras, ada yang berperangai buruk (kafir) dan ada yang baik (Mukmin).” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi : ‘Hasan shahih’. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi juz 3 hadits 2355 dan Shahih Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)

Semoga Allah merahmati orang yang berkata dalam bait syi’irnya :
Diciptakan manusia dari saripati yang berbau busuk.
Dan ke saripati itulah semua manusia akan kembali.
Setelah Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Adam ‘Alaihis Salam dari tanah. Dia ciptakan pula Hawa ‘Alaihas Salam dari Adam, sebagaimana firman-Nya :

“Dia menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya … .” (Az Zumar : 6)

Dalam ayat lain : “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya … .” (Al A’raf : 189)

Dari Adam dan Hawa ‘Alaihimas Salam inilah terlahir anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari air mani yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan hingga hari kiamat nanti. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 457)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (mani).” (As Sajdah : 7-8)

Imam Thabari rahimahullah dan selainnya mengatakan bahwa diciptakan anak Adam dari mani Adam dan Adam sendiri diciptakan dari tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz 9 halaman 202)

Allah Subhanahu wa Ta'ala menempatkan nuthfah (yakni air mani yang terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi jima’) dalam rahim seorang ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha Kuasa menjadikan rahim itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon manusia. Dia nyatakan dalam firman-Nya :
“Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan.” (Al Mursalat : 20-22)

Dari nuthfah, Allah jadikan ‘alaqah yakni segumpal darah beku yang bergantung di dinding rahim. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah yakni sepotong daging kecil yang belum memiliki bentuk. Setelah itu dari sepotong daging bakal anak manusia tersebut, Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan tulang-tulang dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk menyelubungi tulang-tulang tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah ruh, lalu bergeraklah makhluk tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat, mendengar, dan meraba. (Bisa dilihat keterangan tentang hal ini dalam kitab-kitab tafsir, antara lain dalam Tafsir Ath Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lain-lain)

Demikianlah kemahakuasaan Rabb Pencipta segala sesuatu, sungguh dapat mengundang kekaguman dan ketakjuban manusia yang mau menggunakan akal sehatnya. Semoga Allah meridhai ‘Umar Ibnul Khaththab, ketika turun awal ayat di atas (tentang penciptaan manusia) terucap dari lisannya pujian :

“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin” Maha Suci Allah, Pencipa Yang Paling Baik

Lalu Allah turunkan firman-Nya :
“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin” untuk melengkapi ayat di atas. (Lihat Asbabun Nuzul oleh Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 241, dan Aysarut Tafasir Abu Bakar Jabir Al Jazairi juz 3 halaman 507-508)

Maha Kuasa Allah Tabaraka wa Ta’ala, Dia memindahkan calon manusia dari nuthfah menjadi ‘alaqah. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah dan seterusnya tanpa membelah perut sang ibu bahkan calon manusia tersebut tersembunyi dalam tiga kegelapan, sebagaimana firman-Nya :
“ … Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan … .” (Az Zumar : 6)

Yang dimaksud “tiga kegelapan” dalam ayat di atas adalah kegelapan dalam selaput yang menutup bayi dalam rahim, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam perut. Demikian yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Abu Malik, Adh Dhahhak, Qatadah, As Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 46 dan keterangan dalam Adlwaul Bayan juz 5 halaman 778)

Sekarang kita lihat keterangan tentang kejadian manusia dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Abi ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu berkata : Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan dibenarkan. Beliau bersabda (yang artinya) “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli Surga sehingga tidak ada di antara dia dan Surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga sehingga ia memasukinya.” (HR. Bukhari 6/303 -Fathul Bari dan Muslim 2643, shahih)

Berita Nubuwwah di atas mengabarkan bahwa proses perubahan janin anak manusia berlangsung selama 120 hari dalam tiga bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40 hari. Yakni 40 hari pertama sebagai nuthfah, 40 hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga dalam bentuk segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah perintahkan seorang Malaikat untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4 perkara di atas.

Dalam riwayat lain :
Malaikat masuk menuju nuthfah setelah nuthfah itu menetap dalam rahim selama 40 atau 45 malam, maka Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?” Lalu ia menulisnya. Kemudian berkata lagi : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?” Lalu ia menulisnya dan ditulis (pula) amalnya, atsarnya, ajalnya, dan rezkinya, kemudian digulung lembaran catatan tidak ditambah padanya dan tidak dikurangi. (HR. Muslim dan Hudzaifah bin Usaid radhiallahu 'anhu, shahih)

Dalam Ash Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Allah mewakilkan seorang Malaikat untuk menjaga rahim. Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Nuthfah, Wahai Rabbku! Segumpal darah, wahai Rabbku! Segumpal daging.” Maka apabila Allah menghendaki untuk menetapkan penciptaannya, Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan? Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia? Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana ajalnya?” Maka ditulis yang demikian dalam perut ibunya. (HR. Bukhari `11/477 -Fathul Bari dan Muslim 2646 riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu)

Dari beberapa riwayat di atas, ulama menggabungkannya sehingga dipahami bahwasanya Malaikat yang ditugasi menjaga rahim terus memperhatikan keadaan nuthfah dan ia berkata : “Wahai Rabbku! Ini ‘alaqah, ini mudhghah” pada waktu-waktu tertentu saat terjadinya perubahan dengan perintah Allah dan Dia Subhanahu wa Ta'ala Maha Tahu. Adapun Malaikat yang ditugasi, ia baru mengetahui setelah terjadinya perubahan tersebut karena tidaklah semua nuthfah akan menjadi anak. Perubahan nuthfah itu terjadi pada waktu 40 hari yang pertama dan saat itulah ditulis rezki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya. Kemudian pada waktu yang lain, Malaikat tersebut menjalankan tugas yang lain yakni membentuk calon manusia tersebut dan membentuk pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang, apakah calon manusia itu laki-laki ataukah perempuan. Yang demikian itu terjadi pada waktu 40 hari yang ketiga saat janin berbentuk mudhghah dan sebelum ditiupkannya ruh karena ruh baru ditiup setelah sempurna bentuknya.

Adapun sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
Apabila telah melewati nuthfah waktu 42 malam, Allah mengutus padanya seorang Malaikat, maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, panglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan … .”

Al Qadhi ‘Iyadl dan selainnya mengatakan bahwasanya sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas tidak menunjukkan dhahirnya dan tidak benar pendapat yang membawakan hadits ini pada makna dhahirnya. Akan tetapi yang dimaksudkan maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, penglihatannya … dan seterusnya adalah bahwasanya Malaikat itu menulis yang demikian, kemudian pelaksanaannya pada waktu yang lain (pada waktu 40 hari yang ketiga) dan tidak mungkin pada waktu 40 hari yang pertama. Urutan perubahan tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al Mukminun ayat 12 sampai 14. (Lihat keterangan hal ini dalam Shahih Muslim Syarah Imam An Nawawi, halaman 189-191)

Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (II/484) membawakan secara ringkas perkataan Ibnu Ash Shalah : “Adapun sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits Hudzaifah bahwasanya pembentukan terjadi pada awal waktu 40 hari yang kedua. Sedangkan dalam dhahir hadits Ibnu Mas’ud dikatakan bahwa pembentukan baru terjadi setelah calon anak manusia menjadi mudhghah (segumpal daging). Maka hadits yang pertama (hadits Hudzaifah) dibawa pengertiannya kepada pembentukan secara lafadh dan secara penulisan saja belum ada perbuatan, yakni pada masa itu disebutkan bagaimana pembentukan calon anak manusia dan Malaikat yang ditugasi menuliskannya.”

Dalam ta’liq kitab Tuhfatul Wadud halaman 203-204 disebutkan bahwasanya hadits yang menyatakan Malaikat membentuk nuthfah setelah berada di rahim selama 40 malam, tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang lain. Karena pembentukan Malaikat atas nuthfah terjadi setelah nuthfah tersebut bergantung di dinding rahim selama 40 hari yakni ketika telah berubah menjadi mudhghah. Wallahu A’lam.

Perubahan janin dari nuthfah menjadi ‘alaqah dan seterusnya itu berlangsung setahap demi setahap (tidak sekaligus). Pada waktu 40 hari yang pertama, darah masih bercampur dengan nuthfah, terus bercampur sedikit demi sedikit hingga sempurna menjadi ‘alaqah pada 40 hari yang kedua, dan sebelum itu tidaklah ia dinamakan ‘alaqah. Kemudian ‘alaqah bercampur dengan daging, sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi mudhghah. (Lihat Fathul Bari)

Tatkala telah sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah ruh dan hal ini telah disepakati oleh ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah membangun madzhabnya yang masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas’ud bahwasanya anak ditiupkan ruh padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu bila janin seorang wanita gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut dishalatkan (telah memiliki ruh kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian juga dari Sa’id Ibnul Musayyib dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi’i dan Ishaq.

Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia berkata : “Apabila janin telah mencapai umur 4 bulan 10 hari, maka pada waktu yang 10 hari itu ditiupkan padanya ruh dan dishalatkan atasnya (bila janin tersebut gugur).” (Lihat Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam halaman 88-89 oleh Abi Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali)

Kita lihat dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas bahwasanya penulisan Malaikat terjadi setelah berlalu waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan pada riwayat-riwayat di atas, penulisan Malaikat terjadi setelah waktu 40 hari yang pertama. Riwayat-riwayat tersebut tidaklah bertentangan.
Imam An Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarah Muslim (juz 5 halaman 191) setelah membawakan lafadh hadits dari Imam Bukhari berikut ini (yang artinya) : ‘Sesungguhnya penciptaan setiap kalian dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari (sebagai nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga. Kemudian menjadi segumpal daging selama itu juga. Kemudian Allah mengutus seorang Malaikat dan diperintah (untuk menuliskan) empat perkara, rezkinya dan ajalnya, sengsara atau bahagianya. Kemudian ditiupkan ruh padanya … .’
Sabda beliau dengan menggunakan, menunjukkan diakhirkannya penulisan Malaikat atas perkara-perkara tersebut setelah waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan dalam hadits-hadits yang lain penulisan itu ditetapkan setelah waktu 40 hari yang pertama. Jawaban dari permasalahan ini adalah bahwasanya sabda beliau merupakan ma’thuf dari sabdanya (bukan dengan sabda sebelumnya yakni. Maka sabda beliau merupakan kalimat sisipan antara ma’thuf dan ma’thuf ‘alaih dan yang demikian ini dibolehkan dan biasa dijumpai dalam Al Qur’an, hadits yang shahih, dan selainnya dari ucapan orang-orang Arab.”

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
“Sabda beliau merupakan ma’thuf dari, Adapun sabdanya merupakan kesempurnaan dari kalimat-kalimat yang awal. Dan tidaklah yang dimaksudkan bahwasanya penulisan Malaikat itu baru terjadi setelah selesai tiga tahap kejadian (dari nuthfah sampai menjadi mudhghah). Bisa jadi (yang diberitakan dalam hadits Ibnu Mas’ud) yang dimaksudkan adalah untuk susunan berita saja, bukan susunan yang diberitakan.” (Fathul Bari 11/485)

Yang jelas penulisan takdir untuk janin di perut ibunya bukanlah penulisan takdir yang ditetapkan untuk semua makhluk sebelum makhluk itu dicipta. Karena takdir yang demikian telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu 'anhuma :
“Sesungguhnya Allah menetapkan takdir-takdir makhluknya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.” (HR. Muslim 2653, shahih)

Dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena (Al Qalam). Lalu Dia berfirman kepadanya : “Tulislah!” Maka pena menuliskan segala apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. (HR. Abu Daud 4700, Tirmidzi 2100, dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Iqadzul Himam)

Banyak nash yang menyebutkan bahwa penetapan takdir seseorang apakah ia termasuk orang yang bahagia atau sengsara telah ditulis terdahulu. Antara lain dalam Shahihain dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Tidak ada satu jiwa melainkan Allah telah menulis tempatnya di Surga atau di neraka dan telah ditulis sengsara atau bahagia.” Maka seorang laki-laki berkata : “Wahai Rasulullah! Mengapa kita tidak mengikuti (saja) ketentuan kita (yang telah ditulis) dan kita tinggalkan amal?” Maka beliau bersabda : “Beramal-lah, maka setiap orang akan dimudahkan terhadap apa yang ditetapkan baginya. Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang sengsara akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang sengsara.” Kemudian beliau membaca : “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail : 5-7) [HR. Bukhari 3/225 -Fathul Bari dan Muslim 2647]

Bahagia atau sengsara seseorang ditentukan oleh akhir amalnya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas. Demikian pula dalam hadits berikut, dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
“Sesungguhnya hanyalah amal-amal ditentukan pada akhirnya (penutupnya).” (HR. Bukhari 11/330 -Fathul Bari)

Sebagai penutup dapat kita simpulkan bahwa Allah Maha Kuasa menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menciptakan manusia pertama (Adam ‘Alaihis Salam) dari tanah, sedangkan anak-anak Adam berketurunan dengan nuthfah hingga akhir kehidupan nanti. Dia tempatkan nuthfah dalam rahim ibu dan dijaga oleh seorang Malaikat. Nuthfah ini kemudian pada akhirnya menjadi segumpal daging dan dari segumpal daging terus berkembang hingga menjadi sosok anak manusia kecil yang bernyawa lengkap dengan pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki. Bersamaan dengan itu telah ditulis ketentuan takdir untuknya, apakah rezkinya lapang ataukah sempit, apakah amalnya baik atau sebaliknya, kapan datang ajalnya dan apakah ia termasuk hamba Allah yang beruntung ataukah yang sengsara. Naudzubillah!

Dari tanah manusia berasal dan pada akhirnya akan kembali menjadi tanah. Mungkin ini bisa menjadi bahan renungan untuk kita semua.
Wallahu A’lam Bis Shawab.
Daftar Bacaan :
1. Al Qur’anul Karim.
2. Adlwaul Bayan. Asy Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi.
3. Ad Durul Mantsur fi At Tafsir Al Ma’tsur. Imam As Suyuthi.
4. Ahkamuth Thifli. Asy Syaikh Ahmad Al ‘Aysawi.
5. Asbabun Nuzul. Imam As Suyuthi.
6. ‘Aunul Ma’bud. Al Hafidh Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
7. Aysarut Tafasir. Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi.
8. Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Atsqalani.
9. Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam. Syaikh Abi Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali.
10. Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam. Al Hafidh Ibnu Rajab Al Hanbali.
11. Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Al Qur’an. Ibnu Jarir Ath Thabari.
12. Mu’jam Mufradat Alfadzil Qur’an. Al ‘Allamah Al Ashfahani.
13. Shahih Muslim Syarah An Nawawi. Imam An Nawawi.
14. Shahih Sunan Abi Daud. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
15. Shahih Sunan At Tirmidzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
16. Tafsir Ibnu Katsir. Al Hafidh Ibnu Katsir.
17. Tafsir Al Qurthubi. Imam Al Qurthubi.
Artinya : Jejak kehidupannya.
Ma’thuf merupakan istilah dalam ilmu nahwu yang bermakna kurang lebih lafadh yang mengikuti lafadh tertentu yang terletak sebelumnya.
Ma’thuf ‘alaih bermakna lafadh yang diikuti oleh lafadh tertentu yang terletak sesudahnya.

(Dinukil dari Majalah Salafy - MUSLIMAH Edisi XIX/Rabi’ul Awwal/1418/1997], ditulis oleh : ustadz Abul Muslim Al Atsari dan ustadzah Zulfa. Peringatan : Majalah Salafy edisi 2002 dan seterusnya, dipegang oleh Ja'far Umar Thalib dan isinya sarat dengan kesesatan Sufiyahnya. Allahu a'lam)

Monday, July 6, 2009

BERAKHLAK BAIK DAN PENTINGNYA BAGI PENUNTUT ILMU




Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah

Wahai saudara-saudara sekalian, (pada) kesempatan baik ini saya akan menyampaikan pembicaraan tentang berakhlak baik. Dan akhlak, sebagaimana dikatakan ulama adalah gambaran batin manusia, karena (pada dasarnya) manusia mempunyai dua bentuk, bentuk luar (yaitu fisik) yang Allah ciptakan badan padanya. Dan sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bentuk luar ini ada yang diciptakan dalam bentuk yang indah, dan ada yang diciptakan dalam bentuk yang buruk, dan ada yang diciptakan dalam bentuk diantara keduanya. Dan bentuk batin (demikian juga) ada yang baik dan ada yang buruk, serta ada yang diantara keduanya, dan bentuk batin inilah yang dikatakan sebagai akhlak.

Jika demikian halnya, maka yang dinamakan akhlak adalah : “Gambaran batin, dimana manusia berwatak seperti gambaran batin itu”. Dan sebagaimana akhlak itu merupakan suatu tabiat (pemberian Allah), sesungguhnya akhlak baik juga dapat diperoleh dengan berusaha untuk berakhlak baik, artinya bahwa (ada) manusia yang diciptakan Allah dalam keadaan berperangai baik, dan terkadang ada yang memperoleh akhlak baik itu dengan cara berusaha dan memaksa (serta mengalahkan jiwa untuk berakhlak baik) - oleh karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada (sahabat yang bernama) Al Asaj bin Qais :

"Artinya : Sesunggunhya dalam dirimu terdapat dua perangai yang dicintai Allah, yaitu sabar dan tenang, (lalu) Al Asaj bin Qais berkata : Wahai Rasulullah, apakah dua perangai itu aku yang membikin (mengusahakan untuk berakhlak sabar dan tenang) ataukah Allah telah ciptakan keduanya untukku? Beliau bersabda : “Allah menciptakanmu dalam keadaan berakhlak sabar dan tenang ”.

Maka ini adalah dalil bahwa akhlak mulia itu terjadi melalui tabiat (pembawaan asli), dan bisa juga terjadi dari usaha untuk berakhlak mulia. Akan tetapi, akhlak mulia yang lahir dari tabiat, tentu lebih baik dari akhlak mulia yang terjadi dari hasil usaha untuk berakhlak mulia. Karena jika akhlak itu terlahir dari tabiat, ia akan menjadi karakter dan pembawaan bagi manusia yang tidak membutuhkan usaha membiasakan dan melatihnya. Akan tetapi, ini adalah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang tidak diciptakan dalam keadaan berakhlak baik, sesungguhnya ia dapat memperolehnya dari jalan berusaha untuk berakhlak baik itu, dengan cara membiasakan dan memaksa (serta mengalahkan jiwa untuk berakhlak baik) sebagaimana kami akan menyebutkannya insya Allah.

Dan banyak manusia berprasangka bahwa berakhlak baik hanyalah dilakukan dalam bermuamalah dengan makhluk, tanpa bermuamalah dengan Allah. Akan tetapi ini adalah pemahaman yang sempit (dalam memahami makna berakhlak baik), karena sesungguhnya berakhlak baik itu sebagaimana dilakukan dalam bermuamalah dengan mahluk, juga dilakukan dalam bermuamalah dengan Al Khaliq (Sang Pencipta). Maka pembahasan tentang berakhlak baik adalah bermuamalah dengan Allah dan bermuamalah dengan mahluk.

Maka apakah yan dimaksud dengan berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah ? Berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah terkumpul dalam tiga perkara :

1. Menerima berita-berita dari Allah (Al Qur'an) dengan membenarkannya.
2. Menerima hukum-hukum Allah dengan cara mengamalkannya.
3. Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha.

Maka dalam tiga hal inilah berkisar sesuatu yang berkenaan dengan berakhlaq baik dengan Allah.

PERTAMA : MENERIMAN BERITA-BERITA DARI ALLAH (AL-QUR'AN) DENGAN MEMBENARKANNYA.

Di mana (artinya adalah) tidak terdapat keraguan dalam diri manusia atau kebimbangan dalam membenarkan berita dari Allah (Al Qur’an) , karena berita dari Allah bersumber dari ilmu yaitu Allah Dzat yang paling benar perkataannya. Sebagaimana firman Allah :

“Artinya : Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah” [An Nisa : 87]

Dan wajib membenarkan berita dari Allah dengan sikap mempercayainya, membelanya, berjihad dengannya, dimana keraguan dan kebimbangan terhadap Al Qur’an dan hadits tidak memasukinya. Dan jika seseorang menampakkan akhlak seperti ini, maka mungkin baginya untuk menolak setiap subhat (kerancuan) yang dibawa oleh orang-orang yang menentang terhadap Al Hadits, baik itu mereka yang menentang dari kalangan orang muslim yang mengadakan perbuatan bid’ah (perkara yang tidak ada contohnya dari Allah dan Rasul-Nya) atau orang-orang non muslim yang melemparkan subhat dalam hati kaum muslimin. Dan kami beri contoh tentang hal itu :

Tersebut dalam shahih Bukhari sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Jika lalat terjatuh dalam minuman salah seoran dari kalian, maka hendaklah ia benamkan lalat itu kedalam minuman, lalu setelah itu hendaknya ia membuang lalat itu, karena sesunguhnya di dalam salah satu sayapnya terdapat penyakit, dan disayap lainnya terdapat obat” [Bukhari 5782]

Ini adalah berita dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam perkara-perkara yang ghaib, Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan dari hawa nafsunya, tetapi yang beliau Shallallahu alaihi wa sallam ucapkan adalah wahyu Allah. (Hal ini) karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah manusia, sedangkan manusia tidak mengetahui hal-hal yang ghaib, bahkan Allah berfirman kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Artinya : Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku." [Al An’am : 50]

Berita ini (hadits tentang lalat), wajib bagi kita menerimanya dengan akhak yang baik. Dan berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerimanya serta menetapkan bahwa hadits yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah haq dan benar, walaupun ditentang orang yang menentangnya. Dan kita mengetahui dengan seyakin-yakinnya, bahwa pendapat yang menyelisihi hadits yang benar keshahihannya dari Rasulullah r adalah (pendapat) batil, hal ini karena Allah berfirman :

“Artinya : Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan” [Yunus : 32]

Contoh lainnya :
Dari peristiwa hari kiamat, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa matahari berada dekat dengan manusia pada hari kiamat seukuran saru mil. Baik itu mil "al-makhalah" (ukuran jaraj) atau mil perjalanan. Jarak ini (antara matahari dan manusia) dekat sekali, tetapi manusia tidak terbakar oleh panasnya, padahal kalau matahari saat ini (didunia) dekat sekali pasti dunia terbakar. Maka terkadang seseorang berkata : “Bagaimana matahari berada dekat kepala-kepala manusia pada hari kiamat sejarak ukuran ini lalu manusia tidak terbakar ? maka dimanakah akhlak yang baik terhadap hadits ini? Berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerima dan membenarkannya, dan hendaknya tidak terdapat dalam hati kita kesempitan, kegalauan dan kebimbangan. Dan hendaknya kita mengetahui bahwa hadits yang diberitakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini adalah haq dan tidak mungkin kita mengqiyaskan (menyerupakan) keadaan-keadaan di akhirat berdasarkan keadaan-keadaan didunia, (hal ini) karena adanya perbedaan besar. Maka jika keadaannya demikian, maka seorang yang beriman akan menerima hadits semisal ini dengan lapang dada dan ketenangan, dan pemahaman tentangnya akan bertambah luas, inilah (berakhlak baik) terhadap berita-berita (dalam Al Qur’an dan hadits).

KEDUA : MENERIMA HUKUM-HUKUM ALLAH DENGAN BENTUK MENGAMALKANNYA

Sesungguhnya berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah dalam hal yang berkaitan dengan hukum-hukumNya adalah (dengan cara) menerima, mengamalkan dan merealisasikannya, serta tidak menolak sedikitpun hukum-hukum Allah. Jika seseorang mengingkari suatu hukum Allah, maka tindakan ini adalah (termasuk) berakhlak buruk kepada Allah.

Kami akan memberikan permisalan tentang puasa. Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah (amalan) yang berat bagi manusia, karena dalam ibadah puasa seseorang (harus) meninggalkan hal-hal yang diingini, seperti makanan, minuman, dan jima’. (Dan) Ini adalah suatu perkara yang berat. Akan tetapi seorang yang beriman, ia akan berakhlak baik kepada Allah, menerima beban syariat ini, dan menerima kemuliaan ini, dan hal ini adalah nikmat dari Allah, ia akan menerimanya dengan lapang dada dan ketenangan, jiwanya luas, dan kamu akan mendapatinya berpuasa pada siang hari yang panas sedangkan ia dalam keadaan ridha, lapang dada, karena ia berakhlak baik kepada Penciptanya, akan tetapi orang yang berakhlak buruk kepada Allah akan “menemui” ibadah seperti ini dengan keluh kesah, kebencian. Dan andaikata ia takut kepada suatu perkara yang tidak baik akibatnya niscaya ia tidak akan berpuasa.

Contoh yang lainnya adalah shalat :
Tidak dapat diragukan lagi bahwa puasa adalah ibadah yang berat bagi sebagian manusia, dan shalat itu ibadah yang berat bagi orang-orang munafik, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Artinya : Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya’ dan shalat subuh" [Bukhari & Muslim]

Akan tetapi shalat bagi orang yang beriman adalah “qurratu aini” (penghibur hati) dan menenangkan jiwanya.

"Artinya : Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan)shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`,(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya".[Al Baqarah : 45-46]

Shalat bagi orang yang beriman bukanlah hal yang berat, bahkan shalat itu ringan dan mudah (bagi mereka yang beriman). Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Dijadikan pelipur lara hatiku dalam shalat"

Maka berakhlak baik kepada Allah dalam masalah shalat ini, yaitu anda menunaikan shalat dengan lapang dada, tenang, dan kedua matamu mendapatkan pelipur lara jika engkau sedang mengerjakan dan menunggunya jika waktu shalat telah lewat, maka jika engkau telah mengerjakan shalat subuh, engkau dalam kerinduan kepada shalat dzuhur, dan jika engkau telah shalat dzuhur engkau dalam kerinduan kepada shalat ashar, dan jika engkau telahmengerjakan shalat ashar engkau dalam kerinduan kepada shalat maghrib, dan jika engkau telah shalat maghrib engkau dalam kerinduan kepada shalat isya’, dan jika engkau telah selesai mengerjakan shalat isya engkau dalam kerinduan kepada shalat subuh. Demikianlah, hatimu selalu teringat dengan shalat-shalat. Hal seperti, tidak dapat diragukan lagi termasuk berakhlak baik kepada Allah.

Dan kami berikan contoh ketiga dalam masalah muamalah :

Dalam masalah muamalah, Allah mengharamkan riba bagi kita dengan pengharaman yang jelas dalam Al Qur’an.

"Artinya : Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" [Al Baqarah : 275]

Dan Allah berkata tentang riba :

"Artinya : Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Penciptanya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya" [Al Baqarah : 275]

Allah mengancam orang yang kembali melakukan riba sesudah datang kepadanya nasehat dan mengetahui hukumnya dengan ancaman akan memasukkannya kekalkedalam neraka, (kita mohon perlindungan kepada Allah darinya).

Orang yang beriman akan menerima hukum ini dengan lapang dada, ridha dan menyerah (tunduk). Adapun orang yang tidak beriman, ia tidak akan menerimanya dan hatinya sempit dengan hukum ini. Ia akan berusaha mengadakan berbagai siasat dan cara, karena kita mengetahui bahwa bahwa didalam riba terdapat penghasilan yang pasti keutungannya dan tidak terdapat didalamnya perniagaan yang belum diketahui (untung dan rugi), akan tetapi pada hakikatnya riba adalah penghasilan bagi seseorang dan penganiayaan bagi yang lain. Oleh karena Itu Allah berfirman :

"Artinya : Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” [Al Baqarah : 279]
ADAPUN PERKARA KETIGA DALAM PEMBAHASAN BERAKHLAK BAIK KEPADA ALLAH ADALAH :

Ridha dan sabar pada taqdir-taqdir Allah, dan kita semua telah mengetahui bahwa taqdir-taqdir Allah yang Allah timpakan kepada mahluk-Nya, sebagiannya sesuai dan sebagiannya tidak disukai.

Apakah sakit disukai manusia ? (tidak sama sekali). Manusia menyukai sehat.

Apakah kefakiran disukai manusia ? Tidak, manusia menyukai menjadi orang kaya.

Apakah bodoh disukai manusia ? tidak, manusia menyukai menjadi seorang yang pandai (alim).

Akan tetapi taqdir Allah dengan hikmah-Nya bermacam-macam, sebagiannya ada yang disukai manusia dan ia lapang dada dengan taqdir sesuai dengan tabiatnya, dan sebagiannya tidak demikian halnya. Maka bagaimanakah berakhlak baik kepada kepada Allah terhadap taqdir-taqdir-Nya ?

Berakhlak baik kepada Allah berkenaan dengan taqdir-taqdir-Nya adalah dengan sikap engkau ridha dengan apa yang Allah taqdirkan bagimu, dan hendaknya engkau merasa tenang pada taqdir itu, dan hendaknya engkau mengetahui bahwa tidaklah Allah mentakdirkan bagimu melainkan dengan hikmah dan tujuan yang terpuji serta patut dipuji dan syukur. Dan berdasarkan hal ini, berakhlak baik kepada Allah berkenaan dengan taqdir-taqdir-Nya adalah ridha, menyerah dan merasa tenang. Oleh karena itu Allah memuji orang-orang yang sabar yaitu orang –orang yang apabila ditimpa dengan suatu musibah mereka berkata :

"Artinya : Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kita kembali” [Al-Baqarah : 156]

Dan Allah berfirman :

"Artinya : Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" [Al Baqarah : 155]

Dan kita meringkas pembahasn yang di atas bahwa berakhlak baik sebagaimana terjadi kepada makhluk juga terjadi kepada Al Khalik (Allah), dan yang dimaksud berakhlak baik kepada Allah adalah menerima Al Qur’an dengan membenarkannya, dan “menemui” hukum-hukumnya dengan menerima serta mengamalkannya, dan menerima taqdir-taqdir-Nya dengan sabar, dan ridha, inilah yang dimaksud berakhlak baik terhadap Allah.

Adapun berakhlak baik terhadap mahluk, sebagian ulama menerangkan dan menyebutkan dari Hasan Al Basri bahwa berakhlak baik adalah : mencegah gangguan, mengerahkan kedermawanan, dan berwajah ceria.

Tiga perkara :

[1]. Mencegah gangguan [Kaffu Al-Adzdzaa]
[2]. Dermawan [Badzlu An-Nadaa]
[3]. Berwajah ceria [Tholaaqotu Al-wajhi]

Pertama : MENCEGAH GANGGUAN [Kaffu Al-Adzdzaa]

Apakah makna "Mencegah gangguan " Maknanya adalah bahwa seseorang mencegah (dirinya) untuk mengganggu orang lain, baik itu gangguan yang berhubungan dengan harta, jiwa, atau kehormatan. Barangsiapa tidak menahan dirinya dari mengganggu orang lain, maka ia tidak mempunyai akhlak yang baik, dan ia berakhlak jelek. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memberitahukan dihadapan sejumlah besar umat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan haji wada’)

"Artinya : Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, pada bulan kalian ini, dinegeri kalian ini” [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]

Jika seseorang berbuat aniaya kepada manusia dengan melakukan pengkhianatan, atau berbuat aniaya dengan memukul, dan kejahatan, atau berbuat aniaya kepada manusia dalam kehormatannya, atau mencela, atau ghibah (menggunjing hal-hal yang jelek), maka hal ini bukanlah termasuk berakhlak baik kepada manusia, karena ia tidak menahan (dirinya) dari mengganggu orang. Dan dosanya semakin besar manakala perbuatan aniaya itu dilakuakan kepada seseorang yang mempunyai hak paling besar padamu. Berbuat jahat kepada kedua orangtua misalnya, lebih besar (dosanya) dari berbuat jahat kepada selain keduanya, dan berbuat jahat kepada karib kerabat lebih besar (dosanya) dari berbuat jahat kepada orang yang lebih jauh, dan berbuat jahat kepada tetangga lebih besar dosanya dari berbuat jahat kepada selain tetanggamu, oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Demi Allah, demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman, ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Siapa wahai Rasulullah ? beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya".

Dalam riwayat Muslim :

"Artinya : Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya”
Kedua : DERMAWAN[Badzlu An-Nadaa]

Makna "Dermawan" [Badzlu An-Nadaa] : Yaitu engkau mendermawakan kedermawanan. Dan Kedermawan itu artinya bukanlah sebagaimana yang difahami oleh sebagian manusia, yaitu engkau mendermakan harta (hanya bermakna ini), tetapi yang dimaksud dermawan adalah mendermakan jiwa, kedudukan dan harta.

Jika kita melihat seseorang memenuhi kebutuhan manusia, membantu mereka, membantu mengarahkan mereka kepada seseorang yang mereka tidak mampu (menemuinya kecuali dengan perantaraannya) hingga berhasil (menemui) nya, atau menyebarkan ilmu diantara manusia, mendermakan hartanya kepada manusia, maka kami mensifatinya sebagai orang yang berakhlak baik, karena ia mendermakan kedermawanan, oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kalian berada, ikutilah perbuatan jahat dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan jahat, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik" [Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Darimi]

Dan makna hal itu adalah jika engkau dianiaya atau dipergauli dengan perbuatan buruk maka engkau memaafkan. Dan sungguh Allah telah memuji orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia, Allah berfirman tentang penghuni surga :

"Artinya : (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan)orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" [Ali Imran :134]

Dan Allah berfirman

"Artinya : Dan pema`afan kamu itu lebih dekat kepada takwa” [Al Baqarah : 237]

"Artinya : Dan hendaklah mereka mema`afkan dan berlapang dada" [An Nur : 22]

Dan Allah berfirman :

"Artinya : Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah" [Asy Syuura : 40]

Seseorang yang berhubungan dengan manusia lainnya, mesti akan mengalami suatu gangguan, maka sepatutnya sikapnya dalam menghadapi gangguan ini adalah hendaknya memaafkan dan berlapang dada. Dan hendaknya ia mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa sikap pemaaf dan lapang dadanya dan harapannya untuk mendapatkan balasan kebaikan kelak di akhirat (dapat mengakibatkan) permusuhan antara dia dengan saudaranya menjadi kasih sayang dan persaudaraan. Allah berfirman :

"Artinya : Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia" [Al Fushilat : 34]

Maka apakah yang lebih baik ? bersikap buruk atau baik ? (tentu) bersikap baik, dan perhatikanlah wahai orang yang mengerti bahasa Arab, bagaimana datang hasil yang diperoleh dengan “idza Al fujaiyyah” yang menunjukkan kejadian langsung dalam hasil yang diperolehnya :

"Artinya : Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia" [Al Fushilat : 34]

Akan tetapi apakah setiap orang mendapatkan petunjuk untuk mengamalkan hal ini ?

Tidak, :

"Artinya : Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar" [Al Fushilat : 35]

Dan disini terdapat masalah :
Apakah kita memahami dari keterangan ini memaafkan orang yang berbuat jahat secara mutlak (merupakan tindakan) terpuji dan diperintahkan ? Akan tetapi, hendaknya kalian ketahui bahwa memaafkan itu akan terpuji, jika sikap memaafkan itu lebih terpuji. Maka jika sikap memaafkan lebih terpuji, maka sikap itu lebih utama. Oleh Karena itu Allah berfirman :

"Artinya : Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah" [Asy Syuura : 40]

Allah menjadikan sikap memaaf diiringi dengan (kata) berbuat baik (pada ayat di atas). Maka apakah mungkin sikap memaafkan tanpa diiringi berbuat baik ?

Jawabannya : Ya, mungkin, terkadang seseorang berani dan berbuat aniaya padamu, dan ia seorang yang dikenal jahat dan berbuat kerusakan oleh manusia. Kalau engkau memaafkannya ia akan terus dalam perbuatan jahatnya dan berbuat kerusakan. Maka sikap apakah yang lebih utama dalam kondisi ini ? kita maafkan atau kita membalas kejahatannya ? yang lebih utama adalah membalas kejahatannya. Karena dengan sikap ini terdapat sikap berbuat baik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Memperbaiki itu wajib, dan memaafkan itu dianjurkan".

Maka jika dalam sikap memaaf itu terlewatkan sikap berbuat baik, maka maknanya bahwa kita mendahulukan anjuran daripada kewajiban, dan hal ini tidak ada dalam syariat. Dan Ibnu Taimiyyah benar (semoga Allah merahmatinya