Nama Bayi Laki-Laki Dan Perempuan

Monday, August 31, 2009

Di Balik Kelembutan Suaramu




Banyak wanita di jaman ini yang merelakan dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak rupiah

Ukhti Muslimah….
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu.

Begitu mudahnya wanita tersebut memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah memperingatkan:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda :
Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2/36).

Suara merupakan bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang disampaikan Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (1/ 431, 434)

Para wanita diwajibkan untuk menjauhi setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia memperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki, maka seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita diperintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah1. Ketika mengingatkan imam yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya dengan ber-tashbih sebagaimana laki-laki, tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Ucapan tashbih itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita”. (HR. Al Bukhari no. 1203 dan Muslim no. 422)

Demikian pula dalam masalah adzan, tidak disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya lewat menara-menara masjid karena hal itu melazimkan suara yang keras.

Ketika terpaksa harus berbicara dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang melembutkan dan memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab di atas. Dia dibolehkan hanya berbicara seperlunya, tanpa berpanjang kata melebihi keperluan semula.

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah u berkata dalam tafsirnya: “Makna dari ayat ini (Al-Ahzab: 32), ia berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni tidak seperti suaranya ketika berbicara dengan suaminya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/491).

Maksud penyakit dalam ayat ini adalah syahwat (nafsu/keinginan) berzina yang kadang-kadang bertambah kuat dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang wanita atau ketika mendengar ucapan sepasang suami istri, atau yang semisalnya.

Suara wanita di radio dan telepon

Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: “Bolehkah seorang wanita berprofesi sebagai penyiar radio, di mana ia memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara dengan wanita melalui pesawat telepon atau secara langsung?” Asy Syaikh menjawab: “Apabila seorang wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja dengan seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak diragukan lagi kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

“Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita.”

Ikhtilath yang seperti ini selamanya tidak akan dihalalkan. Terlebih lagi seorang wanita yang bekerja sebagai penyiar radio tentunya berusaha untuk menghiasi suaranya agar dapat memikat dan menarik. Yang demikian inipun merupakan bencana yang wajib dihindari disebabkan akan timbulnya fitnah.

Adapun mendengar suara wanita melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan tidak dilarang untuk berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan adalah berlezat-lezat (menikmati) suara tersebut atau terus-menerus berbincang-bincang dengan wanita karena ingin menikmati suaranya. Seperti inilah yang diharamkan. Namun bila hanya sekedar memberi kabar atau meminta fatwa mengenai suatu permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya, maka hal ini diperbolehkan. Akan tetapi apabila timbul sikap-sikap lunak dan lemah-lembut, maka bergeser menjadi haram. Walaupun seandainya tidak terjadi yang demikian ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki-laki yang mengajaknya bicara ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya, maka haram bagi laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan pembicaraannya seketika ia menyadarinya.

Sedangkan mengajak bicara wanita secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat wanita tersebut berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak bicara itu adalah orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya (kakak/adik ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal mereka.” (Fatawa Al Mar‘ah Al Muslimah, 1/433-434).

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini: “Wajib bagi wanita untuk bicara seperlunya melalui telepon, sama saja apakah dia yang memulai menelepon atau ia hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat telepon, karena ia dalam keadaan terpaksa dan ada faidah yang didapatkan bagi kedua belah pihak di mana keperluan bisa tersampaikan padahal tempat saling berjauhan dan terjaga dari pembicaraan yang mendalam di luar kebutuhan dan terjaga dari perkara yang menyebabkan bergeloranya syahwat salah satu dari kedua belah pihak. Namun yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut kecuali pada keadaan yang sangat mendesak.” (Fatawa Al Mar`ah, 1/435)
Laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya

Kenyataan yang ada di sekitar kita, bila seorang laki-laki telah meminang seorang wanita, keduanya menilai hubungan mereka telah teranggap setengah resmi sehingga apa yang sebelumnya tidak diperkenankan sekarang dibolehkan. Contoh yang paling mudah adalah masalah pembicaraan antara keduanya secara langsung ataupun lewat telepon. Si wanita memperdengarkan suaranya dengan mendayu-dayu karena menganggap sedang berbincang dengan calon suaminya, orang yang bakal menjadi kekasih hatinya. Pihak laki-laki juga demikian, menyapa dengan penuh kelembutan untuk menunjukkan dia adalah seorang laki-laki yang penuh kasih sayang. Tapi sebenarnya bagaimana timbangan syariat dalam permasalahan ini?

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab:” Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya (di-khitbah-nya), apabila memang pinangannya (khitbah) telah diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan untuk saling memberikan pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah di dalamnya. Namun bila keperluan yang ada disampaikan lewat wali si wanita maka itu lebih baik dan lebih jauh dari fitnah. Adapun pembicaraan antara laki-laki dan wanita, antara pemuda dan pemudi, sekedar perkenalan (ta‘aruf) –kata mereka- sementara belum ada khithbah di antara mereka, maka ini perbuatan yang mungkar dan haram, mengajak kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:

“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al-Ahzab: 32) (Fatawa Al Mar‘ah, 2/605) ?

(Disusun dan dikumpulkan dari fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin oleh Ummu Ishaq Al Atsariyah dan Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim).

Thursday, August 27, 2009

Berolahraga Saat Puasa




Dapat saran untuk "cuti" latihan di bulan suci ini? Tak perlu dituruti. Kita masih tetap boleh latihan, kok. Pilih olah fisik ringan yang disesuaikan dengan terbatasnya cadangan energi selama menjalani bulan suci. Karena salah satu fungsi puasa adalah detoksifikasi sederhana, olahraga memainkan peran penting sehingga sirkulasi darah serta fungsi kelenjar getah bening prima. Ini diperlukan untuk membantu proses pengeluaran racun dari tubuh.

Bagaimana melakukannya?

Tubuh punya persediaan energi serta air yang terbatas saat puasa. Selain digunakan untuk keperluan eksternal (berinteraksi dengan dunia luar), persediaan tadi juga penting untuk menjalankan fungsi tubuh itu sendiri. Cari olahraga yang bersifat sederhana serta tidak terlalu menghabiskan cadangan energi maupun air dalam tubuh.

Aktivitas fisik low impact seperti yoga, Pilates, dan body balance, adalah pilihan tepat. Lakukan setiap gerakan dengan penuh konsentrasi serta hindari godaan bergerak dengan cepat demi memperbanyak keringat. Jangan termakan mitos menurunkan berat badan dengan menguras cadangan air tubuh. Di samping tidak akan bertahan lama, metode ini berbahaya bagi kesehatan secara keseluruhan, terutama saat dilakukan pada masa puasa.

Pilihan waktu

Setelah sahur dan shalat subuh, bisa jadi ada waktu luang yang menggoda kita untuk berolahraga. Namun hal ini tidak disarankan. Saat 30 menit hingga 2 jam menjelang berbuka adalah momen ideal untuk berolahraga, bergantung terhadap daya tahan tubuh kita.

Usahakan agar dalam waktu tersebut semua bentuk latihan yang diperlukan tubuh telah tercakup dengan merata. Namun bila sulit, kita bisa mengorbankan bentuk latihan pembentukan otot memakai beban. Yakinkan Anda bahwa waktu yang cukup singkat tadi telah cukup untuk melatih fungsi kardiovaskular, pernafasan, serta pemeliharaan otot.

Pasokan nutrisi

Memilih makanan serta minuman yang tepat selama bulan Ramadhan juga menuntut trik-trik tersendiri. Dengan begitu, kegiatan olahraga selama puasa bisa kita jalani dengan baik. Karena waktu pengisian bahan bakar terbatas, pilihlah makanan yang tergolong ringan saat sarapan sahur. Hindari makan banyak-banyak, dengan berpegang pada analogi layaknya orang mengisi tangki bensin untuk kendaraan yang hendak menempuh perjalanan jauh. Ingat, lambung Anda bekerja dengan sistem yang berbeda.

Pilihlah varian makanan yang kaya serat untuk meringankan kerja pencernaan, serta mampu memberikan sumbangan kalori yang cukup untuk memberi Anda tenaga hingga waktu berbuka. Jangan lupa minum air dalam jumlah yang cukup.

Kecuali Anda seorang penganut diet protein tinggi, lupakan niat untuk meningkatkan asupan protein berat demi membantu pembentukan otot seperti yang Anda lakukan sehari-hari saat sedang tidak berpuasa. Protein berat, terutama yang berasal dari hewan, membuat kerja pencernaan menjadi sangat berat serta menghambat proses detoksifikasi yang diharapkan terjadi saat puasa.

Berbuka

Selepas berolahraga, awali acara berbuka puasa Anda dengan segelas air bersuhu sejuk. Nikmati satu atau dua gelas mengalir dalam kerongkongan untuk membantu tubuh menormalkan sistem kerjanya. Makanlah snack ringan atau buah manis sarat kandungan air untuk memberikan sedikit energi. Jangan termakan doktrin "makanlah yang manis" sebagai alasan untuk mengonsumsi makanan bergula tinggi dalam jumlah banyak. Atau pun dengan alasan untuk mengembalikan energi. Satu-dua butir kurma atau sesendok madu murni dicampur ke dalam minuman adalah contoh ideal.

Jadikan waktu makan malam sebagai momen untuk memberikan porsi makan yang "cukup" bagi tubuh, yang akan menjadi "bahan bakar" saat melanjutkan aktivitas. Jauhi kebiasaan buruk untuk "balas dendam" saat berbuka. Selain tentunya mengganggu manfaat positif puasa, penimbunan lemak ekstra sangat umum terjadi akibat usaha makan sebanyak-banyaknya saat waktunya tiba. Selamat berpuasa.

Narasumber: Erikar Lebang, praktisi yoga, mendalami Iyengar Yoga pada IYCA Iyengar Yoga Centre of Amsterdam, Belanda.

Sumber : www.kompas.com

Monday, August 24, 2009

Cara Memahami Nash Al Qur'an




1. Memahami Ayat dengan Ayat

Menafsirkan satu ayat Qur'an dengan ayat Qur'an yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Qur'an itu yang menafsirkan (baca, menerangkan) makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat, yang artinya: "Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih hati." (Yunus : 62)
Lafadz auliya' (wali-wali), diterangkan/ditafsirkan dengan ayat berikutnya yang artinya : "Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (Yunus : 63)

Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah para wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara yang gaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah, atau keyakinan-keyakinan batil yang lain. Dalam hal ini, karamah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena karamah itu bisa saja tampak bisa pula tidak.

Adapun hal-hal aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang ahli bid'ah, adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang majusi di India dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan karamah, tetapi sihir seperti yang difirmankan Allah, artinya: "Terbayang kepada Musa, seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka." (Thaha: 66)
2. Memahami Ayat Al-Qur'an dengan Hadits Shahih

Menafsirkan ayat Al-Qur'an dengan hadits shahih sangatlah urgen, bahkan harus. Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Shallallahu alaihi wasalam . Tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman-Nya, artinya: "...Dan Kami turunkan Qur'an kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan." (An-Nahl : 44)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Al-Qur'an dan yang seperti Qur'an bersama-sama." (HR. Abu Dawud)

Berikut contoh-contoh tafsirul ayat bil hadits:

Ayat yang artinya: "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya." (Yunus : 26)
Tambahan di sini menurut keterangan Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau bersabda, artinya: "Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Tuhannya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang diberikan kepada mereka." Kemudian beliau membaca ayat ini : Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya. " (HR. Muslim).

Ketika turun ayat, yang artinya: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan kezhaliman...." (Al-An'am : 82)

Menurut Abdullah bin Mas'ud, para sahabat merasa keberatan karena-nya. Lantas merekapun bertanya, "Siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya, ya Rasul?" Beliau jawab, "Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kezaliman di ayat itu adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar/ucapan Lukman kepada putranya yang berbunyi: "Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan Syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh suatu kezaliman yang sangatlah besar." (HR. Muslim)

Dari ayat dan hadits itu dapat dipetik kesimpulan : Kezaliman itu urutan-nya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut syirik. Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.

3. Memahami Ayat dengan Pemahaman Sahabat

Merujuk kepada penafsiran para sahabat terhadap ayat-ayat Qur'an seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, di samping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari beliau. Berikut ini beberapa contoh tafsir dengan ucapan sahabat, tentang ayat yang artinya: "Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'arsy." (Thaha 5)

Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lain, istawa itu maknanya irtafa'a (naik atau meninggi).

4. Harus Mengetahui Gramatika Bahasa Arab

Tidak diragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsiri ayat-ayat Qur'an, mengetahui gramatika bahasa Arab sangatlah urgen. Karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab.
Firman Allah, artinya:

"Sungguh Kami turunkan Al-Qur'an dengan bahasa Arab supaya kamu memahami." (Yusuf : 2)

Tanpa mengetahui bahasa Arab, tak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Qur'an. Sebagai contoh ayat: "tsummas tawaa ilas samaa'i". Makna istawaa ini banyak diperselisihkan. Kaum Mu'tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang salah. Tidak sesuai dengan bahasa Arab. Yang benar, menurut pendapat para ahli sunnah waljamaah, istawaa artinya 'ala wa irtafa'a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya dengan Al-'Ali (Maha Tinggi).

Anehnya, banyak orang penganut faham Mu'tazilah yang menafsiri lafaz istawa dengan istaula. Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di dalam kitab-kitab tafsir, tauhid, dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas menging-kari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits shahih, perkataan para sahabat dan para tabi'in, Mereka mengingkari bahasa Arab di mana Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa itu. Ibnu Qayyim berkata, Allah memerin-tahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan "hitthotun" (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka pelesetkan atau rubah menjadi "hinthotun" (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu'tazilah yang mengartikan istawa dengan arti istaula.

Contoh kedua, pentingnya Bahasa Arab dalam menafsiri suatu ayat, misalnya ayat yang artinya:
"Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (yang haq) melainkan Allah..." (Muhammad: 19).

Ilah artinya al-ma'bud (yang disembah). Maka kalimat Laa ilaaha illallaah, artinya laa ma'buuda illallaah (tidak ada yang patut disembah kecuali Allah saja). Sesuatu yang disembah selain Allah itu banyak; orang-orang Hindu di India menyembah sapi. Pemeluk Nasrani menyembah Isa Al-Masih, tidak sedikit dari kaum Muslimin sangat disesalkan karena menyembah para wali dan berdo'a meminta sesuatu kepadanya. Padahal, dengan tegas Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata, artinya: "Doa itu ibadah". (HR At-Tirmidzi).

Nah, karena sesuatu yang dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat di atas mesti ditambah dengan kata haq sehingga maknanya menjadi Laa ma'buuda haqqon illallaah (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah). Dengan begitu, semua sesembahan-sesembahan yang batil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya: "Demikianlah, karena sesungguhnya Allah. Dialah yang haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil." (Luqman: 30).

Dengan diartikannya lafadz ilah menjadi al-ma'buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan orang Islam yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggianNya di atas 'Arsy dengan memakai dalil ayat berikut, yang artinya: "Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi." (Az-Zukhruf: 84).

Sekiranya mereka memahami arti ilah dengan benar, nisacaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah diterangkan di atas, al-ilah itu artinya: al-ma'buud sehingga ayat itu artinya menjadi : "Dan Dialah Tuhan ( yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi." Contoh ketiga, pentingnya mengetahu gramatika bahasa Arab untuk supaya bisa menafsiri ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan tapi ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh, firman iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. artinya: "Hanya kepadamu kami menyembah, dan hanya kepadamu pula kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5).

Didahulukannya kata iyyaka atas kata kerja na'budu dan nasta'in , ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi laa na'budu illaa iyyaaka walaa nasta'iinu illaa bika yaa Allaah, wanakhusshuka bil 'ibaadah wal isti'aanah wahdaka. (kami tidak menyembah siapapaun kecuali hanya kepadaMu. Kami tidak mohon pertolongan kecuali hanya kepadaMu, ya Allah. Dan hanya kepadaMu saja kami beribadah serta memohon pertolongan).
5. Memahami Nash Al-Qur'an dengan Asbabun Nuzul

Mengetahui sababun nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat) sangat membantu sekali dalam memahami Al-Qur'an dengan benar.
Sebagai contoh, ayat yang artinya: "Katakanlah: Panggillah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan) selain Allah, mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkan-nya. Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengha-rapkan rahmatNya, serta takut akan adzab-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti." (Al-Israa': 56-57).

Ibnu Mas'ud berkata, segolongan manusia ada yang menyembah segolongan jin, lantas sekelompok jin itu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan peribadatannya, maka turunlah ayat: Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka (Muttafaq 'alaih).

Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul kepada para nabi atau para wali. Tapi, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para nabi atau wali, tentu tawassul semacam itu boleh-boleh saja.

Demikian penjelasan Muhammad Ibn Jamil Zainu dalam Kitab kaifa Nafhamul Qur'an. (Dept. Ilmiyah)

Rujukan: Muhammad Ibn Jamil Zainu, Kaifa Nafhamul Qur'an , terjemahan Masyhuri Ikhwani: Pemahaman Al-Qur'an, Gema Risalah Press Bandung, cetakan pertama, 1997

Monday, August 17, 2009

Bahaya Menyia-nyiakan Salat




Kafemuslimah.com "Maka, datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelak) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui sesesatan. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh." (Maryam: 59--60).

Ibnu Abbas berkata, "Makna menyia-yiakan salat salat bukanlah meninggalkannya sama sekali, tetapi mengakhirkannya dari waktu yang seharusnya."

Imam para tabi'in, Sa'id bin Musayyib berkata, "Maksudnya adalah orang itu tidak mengerjakan salat duhur sehingga datang waktu asar; tidak mengerjakan asar sehingga datang magrib; tidak salat magrib sampai datang isya; tidak salat isya sampai fajar menjelang; tidak salat subuh sampai matahari terbit. Barang siapa mati dalam keadaan terus-menerus melakukan hal ini dan tidak bertobat, Allah menjanjikan baginya Ghayy, yaitu lembah di neraka Jahanam yang sangat
dalam dasarnya lagi sangat tidak enak rasanya."

"Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lupa akan salatnya." Al-Maa'uun: 4--5). Orang-orang lupa adalah orang-orang yang lalai dan meremehkan salat.

Sa'ad bin Abi Waqqash berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang orang-orang yang lupa akan salatnya. Beliau menjawab, yaitu mengakhirkan
waktunya."

Mereka disebut orang-orang yang salat. Namun, ketika mereka meremehkan dan mengakhirkannya dari waktu yang seharusnya, mereka diancam dengan Wail, azab yang berat. Ada juga yang mengatakan bahwa Wail adalah sebuah lembah di neraka Jahanam, jika gunung-gunung yang ada dimasukkan ke sana niscaya akan meleleh semuanya karena sangat panasnya. Itulah tempat bagi orang-orang yang meremehkan salat dan mengakhirkannya dari waktunya. Kecuali, orang-orang yang bertobat kepada Allah Taala dan menyesal atas kelalaiannya.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Munafiqun: 9).

Para mufasir menjelaskan, "Maksud mengingat Allah dalam ayat ini adalah salat lima waktu. Maka, barang siapa disibukkan oleh harta perniagaannya, kehidupan dunianya, sawah ladangnya, dan anak-anaknya dari mengerjakan salat pada waktunya, maka ia termasuk orang-orang yang merugi."

Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Amal yang pertama kali dihisab padahari kiamat dari seorang hamba adalah salatnya. Jika salatnya baik maka telah sukses dan beruntunglah ia, sebaliknya, jika rusak, sungguh telah gagal dan merugilah ia." (HR Tirmizi dan yang lain dari Abu Hurairah. Ia berkata, "Hasan Gharib.")

"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan 'Laa ilaaha illallah' (Tiada yang berhak diibadahi selain Allah) dan mengerjakan salat serta membayar zakat. Jika mereka telah memenuhinya, maka darah dan hartanya aku lindungi kecuali dengan haknya. Adapun hisabnya maka itu kepada Allah." (HR Bukhari dan Muslim).

Dan, "Barang siapa menjaganya maka ia akan memiliki cahaya, bukti, dan keselamatan pada hari kiamat nanti. Sedang yang tidak menjaganya, maka tidak akan memiliki cahaya, bukti, dan keselamatan pada hari itu. Pada hari itu ia akan dikumpulkan bersama Firaun, Qarun, Haman, dan ubay bin Khalaf." (HR Ahmad).

Sebagian ulama berkata, "Hanyasanya orang yang meninggalkan salat dikumpulkan dengan empat orang itu karena ia telah menyibukkan diri dengan harta, kekuasaan, pangkat/jabatan, dan perniagaannya dari salat. Jika ia disibukkan dengan hartanya, ia akan dikumpulkan bersama Qarun. Jika ia disibukkan dengan kekuasaannya, ia akan dikumpulkan dengan Firaun. Jika ia disibukkan dengan pangkat/jabatan, ia akan dikumpulkan bersama Haman. Dan, jika ia disibukkan dengan perniagaannya akan dikumpulkan bersama Ubay bin Khalaf, seorang pedagang yang kafir di Mekah saat itu."

Mu'adz bin Jabal meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa meninggalkan salat wajib dengan sengaja, telah lepas darinya jaminan dari Allah Azza wa Jalla." (HR Ahmad).

Umar bin Khattab berkata, "Sesungguhnya tidak ada tempat dalam Islam bagi yang menyia-nyiakan salat."Umar bin Khattab meriwayatkan, telah datang seseorang kepada Rasulullah saw. dan bertanya, "Wahai Rasulullah, amal dalam Islam apakah yang paling dicintai oleh Allah Taala?" Beliau menjawab, "Salat pada waktunya. Barang siapa meninggalkannya, sungguh ia tidak lagi memiliki agama lagi, dan salat itu tiangnya agama."

Kala Umar terluka karena tusukan, seseorang mengatakan, "Anda tetap ingin mengerjakan salat, wahai Amirul Mukminin?" "Ya, dan sungguh tidak ada tempat dalam Islam bagi yang menyia-nyiakan salat," jawabnya. Lalu, ia pun mengerjakan salat, meski dari lukanya mengalir darah yang cukup banyak.

Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa berjumpa dengan Allah dalam keadaan menyia-nyiakan salat, Dia tidak akan mempedulikan sautu kebaikan pun darinya."Ibnu Hazm berkata, "Tidak ada dosa yang lebih besar sesudah syirik, selain mengakhirkan salat dari waktunya dan membunuh seorang mukmin bukan dengan haknya."

Aun bin Abdullah berkata, "Apabila seorang hamba dimasukkan ke dalam kuburnya, ia akan ditanya tentang salat sebagai sesuatu yang pertama kali ditanyakan. Jika baik barulah amal-amalnya yang lain dilihat. Sebaliknya, jika tidak, tidak ada satu amalan pun yang dilihat (dianggap tidak baik semuanya)."

Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seorang hamba mengerjakan salat di awal waktu, salat itu--ia memiliki cahaya--akan naik ke langit sehingga sampai ke Arsy, lalu memohonkan ampunan bagi orang yang telah mengerjakannya, begitu seterusnya sampai hari kiamat. Salat itu berkata, 'Semoga Allah menjagamu sebagaimana kamu telah menjagaku.' Dan, apabila seorang hamba mengerjakan salat bukan pada waktunya, salat itu--ia memiliki kegelapan--akan naik ke langit.

Sesampainya di sana ia akan dilipat seperti dilipatnya kain yang usang, lalu dipukulkan ke wajah orang yang telah mengerjakannya. Salat itu berkata, 'Semoga Allah menyia-nyiakanmu sebagaimana kamu telah menyia-nyiakanku'."

Rasulullah saw. bersabda, "Ada tiga orang yang salatnya tidak diterima oleh Allah: seseorang yang memimpin suatu kaum padahal kaum itu membencinya; seseorang yang mengerjakan salat ketika telah lewat waktunya; dan seseorang yang memperbudak orang yang memerdekakan diri." (HR Abu Dawud dari Abdullah bin Amru bin Ash).

Beliau saw. juga bersabda, Barang siapa menjamak dua salat tanpa ada uzur, sungguh ia telah memasuki pintu terbesar di antara pintu-pintu dosa besar."

Dalam sebuah hadis yang lain disebutkan, "Sesungguhnya orang yang selalu menjaga salat wajib niscaya akan dikaruniai oleh Allah SWT dengan lima karamah:ditepis darinya kesempitan hidup, dijauhkan ia dari azab kubur, diterimakan kepadanya cacatan amalnya dengan tangan kanan, ia akan melewati shirath seperti kilat yang menyambar, dan akan masuk surga tanpa hisab. Sebaliknya, orang yang menyia-nyiakannya niscaya akan dihukum oleh Allah dengan empat belas (14) hukuman: lima di dunia, tiga ketika mati, tiga di alam kubur, dan tiga lagi ketika keluar dari kubur. Kelima hukuman di dunia adalah barakah dicabut dari hidupnya, tanda sebagai orang saleh dihapus dari wajahnya, semua amalan yang dikerjakannya tidak akan diberi pahala oleh Allah, doanya tidak akan diangkat ke langit, dan dia tidak akan mendapat bagian dari doanya orang-orang saleh.

Hukuman yang menimpanya ketika mati adalah dia akan mati dalam kehinaan, dalam kelaparan, dan dalam kehausan. Meskipun ia diberi minum air seluruh lautan dunia, semua itu tidak mampu menghilangkan dahaganya. Hukuman yang menimpanya dikubur adalah kuburnya menyempit sehingga tulang-tulangnya remuk tak karuan, dinyalakan di sana api yang membara siang-malam, dan ia dihidangkan kepada seekor ular yang bernama As-Suja al-Aqra. Kedua bola matanya dari api, kuku-kukunya dari besi, dan panjang tiap kuku itu sejauh perjalanan satu hari.
Ular itu terus-menerus melukai si mayit sambil berkata, 'Akulah As-Suja al-Aqra!' Seruannya bagaikan gemuruh halilintar, 'Aku diperintah oleh Rabku untuk memukulmu atas kelakuanmu yang menunda-nunda salat subuh sampai terbit matahari, juga atas salat zuhur yang kau tunda-tunda sampai masuk waktu asar, juga atas asar yang kau tunda-tunda sampai magrib, juga atas magrib yang kau tunda-tunda sampai isya, dan atas isya yang kau tunda-tunda sampai subuh.' Setiap kali ular itu memukulnya, ia terjerembab ke bumi selama 70 hasta.

Demikian keadaannya sampai datangnya hari kiamat nanti. Adapun hukuman yang menimpanya sekeluarnya dari kubur pada hari kiamat adalah hisab yang berat,
kemurkaan Rab, dan masuk ke neraka."

Dikisahkan, seseorang dari kalangan salaf turut menguburkan saudara perempuannya yang mati. Tanpa ia sadari sebuah kantong berisi harta yang ia bawa jatuh dan turut terkubur. Begitu pula dengan mereka yang hadir, tidak satu pun menyadarinya. Sepulang darinya, barula ia sadar. Maka, ia kembali ke makam dan ketika semua orang telah pulang ke tempat masing-masing ia bongkar kembali makam saudaranya itu. Dan ia pun terkejut begitu melihat api yang menyala-nyala dari dalam makam. Serta merta ia kembalikan tanah galian, dan pulang sambil bercucuran air mata. Mendapati ibunya, ia bertanya, "Duhai Ibunda, gerangan apakah yang telah dilakukan oleh saudara perempuanku?" "Mengapa kau menanyakan,anakku?" ibunya balik bertanya. Ia pun menjawab, "Bunda, sungguh aku melihat kuburnya dipenuhi kobaran api." Lalu, ibunya menangis dan berkata, "Wahaianakku, dulu saudara perempuanmu terbiasa meremehkan dan mengakhirkan salat dari waktunya."

Ini adalah keadaan mereka yang mengakhirkan salat dari waktunya. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak mengerjakannya?

Marilah kita memohon pertolongan kepada Allah agar kita selalu dapat menjaga salat pada waktunya. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

Sumber: Al-Kabaair, Syamsuddin Muhammad bin Utsman bin Qaimaz at-Turkmani al-Fariqi ad-Dimasyqi asy-Syafii

Monday, August 10, 2009

JANGAN SEPELEKAN DOSA KECIL




Sudah maklum dikalangan ulama dan kaum muslimin bahwa dosa itu terbagi menjadi dua macam; kabair (dosa-dosa besar) dan shaghair (dosa-dosa kecil). Walau demikian ada juga sebagian ulama yang tidak melihat adanya pembagian seperti ini, namun menganggap bahwa seluruh kemaksiatan dan penyelewangan dari jalan Allah adalah dosa besar karena merupakan keberanian dan kelancangan dihadapan Allah. Orang yang mengatakan demikian karena melihat betapa besarnya hak Allah atas hamba-hamba-Nya. Ada diantara ulama yang mengatakan: "Suatu dosa dianggap kecil hanya lantaran jika dibandingkan dengan dosa lain yang lebih besar, jika tidak tentulah semua dosa itu besar adanya. "Namun pendapat ini lemah sebab Allah sendiri telah membagi dosa dalam dua bagian yaitu fawahisy/ kabair dan al lamam/shaghair sebagaimana firmanNya:

"(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil (QS An Najm: 32)

Jadi pendapat yang benar -wallahu a'lam - adalah bahwa dosa itu terbagi menjadi dua; besar dan kecil. Dan kabair tidaklah terbatas dengan suatu bilangan tertentu namun apa saja yang dilarang oleh Allah dan disertai dengan ancaman Neraka, murka, laknat, adzab atau berhadapan dengan sanksi hadd (hukuman berat yang telah ditentukan jenisnya) di dunia maka itulah kabair, dan yang yang selain demikain maka tergolong shaghair(ithaf as saadah al muttaqin 10/ hal 615-616).

Berubahnya dosa kecil menjadi dosa besar

Imam Ibnul Qayyim pernah berkata: "Dosa-dosa besar biasanya disertai dengan rasa malu dan takut serta anggapan besar atas dosa tersebut, sedang dosa kecil biasanya tidak demikian. Bahkan yang biasa adalah bahwa dosa kecil sering disertai dengan kurangnya rasa malu, tidak adanya perhatian dan rasa takut, serta anggapan remeh atas dosa yang dilakukan, padahal bisa jadi ini adalah tingkatan dosa yang tinggi (tahdzib madarij as salikin hal 185-186). Dengan demikian maka dosa kecil dapat berubah menjadi besar dengan adanya faktor-faktor yang memperbesarnya, yaitu:

Terus-menerus dalam melakukannya

Hal ini karena pengaruh kerasnya jiwa dan adanya raan (bercak) didalam hati, maka dari sini ada qaul mengatakan: "Tak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus dan tak ada dosa besar jika diiringi istighfar. "Ucapan ini dinisbatkan kepada Ibnu Abbas Radhiallaahu 'anhu berdasarkan atsar yang saling menguatkan satu dengan yang lain (ithaf as-sa'adah al-muttaqin 10/687).

Anggapan remeh atas dosa tersebut

Rasulullah saw telah bersabda: "Berhati-hatilah kalian terhadap dosa kecil, sebab jika ia berkumpul dalam diri seseorang akan dapat membinasakannya." (HR ahmad dan Thabrani dalam Al Awsath). Rijal dalam dua riwayat ini shahih semuanya kecuali Imran bin Dawir Al Qaththan namun dia dapat dipercaya, demikian kata Imam Al Haitsami dalam Majma' Az Zawaid 10/192.

Ibnu Mas'ud Radhiallaahu 'anhu pernah berkata: "Seorang mukmin melihat suatu dosa seakan-akan ia duduk dibawah gunung dan takut jikalau gunung itu menimpanya dan orang fajir (pendosa) melihat dosa bagaikan lalat yang lewat didepan hidungnya seraya berkata "begini", Ibnu Syihab menafsirkan: yakni berisyarat (mengebutkan) tangannya didepan hidung untuk mengusir lalat.

Suatu ketika shahabat Anas Radhiallaahu 'anhu pernah berkata kepada sebagian tabi'in: "Sesungguhnya kalian semua melakukan suatu perbuatan yang kalian pandang lebih kecil dari pada biji gandum padahal di masa Nabi saw kami menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat membinasakan. "(riwayat Al Bukhari).

Di sini bukan berarti Anas mengatakan bahwa dosa besar dimasa Rasulullah dihitung sebagai dosa kecil setelah beliau wafat, namun itu semata-mata karena pengetahuan para shahabat akan keagungan Allah yang lebih sempurna. Makanya dosa kecil bagi mereka-jika sudah dikaitkan dengan kebesaran Allah- akan menjadi sangat besar. Dan dengan sebab ini pula maka suatu dosa akan dipandang lebih besar jika dilakukan orang alim dibandingkan jika pelakunya orang jahil, bahkan bagi orang awam boleh jadi suatu dosa dibiarkan begitu saja (dimaklumi) karena ketidaktahuannya yang mana itu tentu tidak berlaku bagi orang alim dan arif. Atau dengan kata lain bahwa besar kecilnya suatu dosa sangat berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan dan keilmuan pelakunya (ithaf as-sa'adah al-muttaqin 10/690).

Tapi meski bagaimanapun seseorang seharusnya dituntut untuk menganggap besar suatu dosa, sebab jika tidak demikian maka tidak akan lahir rasa penyesalan. Adapun jika menganggap besar atas suatu dosa maka ketika melakukannya akan disertai dengan rasa sesal. Ibarat orang yang menganggap uang receh tak bernilai, maka ketika kehilangan ia tak akan bersedih dan menyesalinya. Namun ketika yang hilang adalah dinar (koin emas) maka tentu ia akan sangat menyesal dan kehilangannya merupakan masalah yang besar.

Perasaan menganggap besar terhadap dosa muncul karena tiga faktor:

- Menganggap besar atas suatu perintah (apapun ia).
- Menganggap besar Dzat atau orang yang memerintah.
- Keyakinan akan benarnya balasan.

Merasa senang dan bangga dengan dosa

Seperti seorang pelaku dosa berkata: "Andaikan saja engkau tahu bagaimana aku mempermalukan si fulan, dan bagaimana aku membuka aib dan keburukannya sehingga nampak jelas semua!" Atau misal yang lain: "Seandainya kamu melihat bagaimana aku memukul dia dan menghinakannya!"
Orang ini sudah begitu lupa dengan kejelekan dosa sehingga malah senang tatkala dapat melampiaskan keinginan-nya yang terlarang. Dan perasaan senang terhadap suatu kemaksiatan menunjukkan adanya keinginan untuk melakukannya, sekaligus menunjukkan ketidaktahuannya dengan Dzat yang ia maksiati, buruknya akibat dan besarnya bahaya kemaksiatan. Rasa senang dengan dosa telah menutupi semua itu, dan senang dengan suatu dosa lebih berbahaya daripada dosa itu sendiri. Sebab. orang yang berbuat suatu dosa namun sebenarnya tidak senang dengan perbuatan itu maka ia akan segera menghentikannya. Sedangkan rasa senang dengan dosa akan menimbulkan keinginan untuk terus melakukannya.

Jika kealpaan dan kelalaian semacam ini telah begitu parah maka akan menyeretnya untuk melakukan dosa tersebut secara terus menerus, merasa tenang dengan perbuatan salah dan bertekad untuk terus melakukannya. Dan ini adalah jenis lain dari dosa yang jauh lebih berbahaya daripada dosa yang ia lakukan sebelumnya.

Meremehkan "tutup dosa" dan kesantunan Allah

Yaitu ketika pelaku dosa kecil terbuai dengan kemurahan Allah dalam menutupi dosa. Ia tidak sadar bahwa itu adalah penangguhan dari Allah untuk-nya. Bahkan ia menyangka bahwa Allah sangat mengasihinya dan memberi perlakuan lain kepadanya, sebagaimana yang Allah kabarkan kepada kita tentang para pemuka agama kaum Yahudi yang berkata: "Kami adalah anak-anak Allah dan kekasihnya." Juga firman Allah:

"Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: "Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu" Cukuplah bagi mereka neraka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali." (QS. Al-Mujadilah: 8)

Membongkar dan menceritakan dosa yang telah ditutupi oleh Allah

Seseorang yang melakukan dosa kecil dan telah ditutupi oleh Allah namun ia sendiri malah kemudian menampakkan dan menceritakannya maka dosa kecil itu justru menjadi berlipat karena telah tergabung beberapa dosa. Ia telah mengundang orang untuk mendengarkan dosa yang ia kerjakan, dan bisa jadi akan memancing orang yang mendengar untuk ikut melakukannya. Maka dosa yang tadinya kecil dengan sebab ini bisa berubah menjadi lebih besar.

Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
" Seluruh umatku akan dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam dosa (al mujahirun), termasuk terang-terangan dalam dosa ialah seorang hamba yang melakukan dosa dimalam hari lalu Allah menutupinya ketika pagi, namun ia berkata: "Wahai fulan aku tadi malam telah melakukan perbuatan begini dan begini!" (HR Muslim, kitabuz zuhd)

Jika pelakunya adalah orang alim yang jadi panutan atau dikenal keshalihannya Yang demikian apabila ia melakukan dosa itu dengan sengaja, disertai kesombongan atau dengan mempertentangkan antara nash yang satu dengan yang lain maka dosa kecilnya bisa berubah menjadi besar. Tetapi lain halnya jika melakukannya karena kesalahan dalam ijtihad, marah atau yang semisalnya maka tentunya itu dimaafkan. (Dari Al-'Ibadat Al-Qalbiyah, Dr. Muhammad bin Hasan bin Uqail Musa Asy-Syarif)

Monday, August 3, 2009

Orang-orang Yang Dimurkai atau Diadzab




Ada orang-orang yang dimurkai Allah dan ada pula orang-orang yang akan diadzab karena perbuatan-perbuatan maksiatnya. Berikut ini beberapa golongan orang-orang yang perbuatan-nya mengakibatkan murka Allah ataupun diturunkannya adzab atau amalnya tidak diterima.

Berbagai adzab

Dalam sejarah nabi-nabi ada kaum-kaum atau masyarakat yang mendatangkan murka Allah karena kekafiran mereka, mendustakan agama yang dibawa oleh nabi yang diutus untuk memberi petunjuk kepada mereka, karena sombong, zhalim, dan sebagainya.

Kaum Tsamud dihancurkan dengan petir, dan kaum 'Ad dihancurkan dengan angin dingin sangat kencang. (lihat QS Al-Haaqqah/69: 4,5,6).

Iblis dilaknat oleh Allah dan dikeluarkan dari surga karena tidak mau mengikuti perintah Allah, untuk bersujud kepada Adam AS. ( lihat Al-Hijr/ 15: 34-35).

Kaum Nabi Nuh shallallahu 'alaihi wasallam diadzab dengan air bah/banjir yang meneng-gelamkan karena kekafiran mereka, hingga anak Nabi Nuh 'alaihissalam sendiri pun tenggelam karena termasuk kafir. (lihat QS Huud/11: 41,42,43).

Kaum Nabi Hud 'alaihissalam mendustakan Nabinya, maka mereka dibinasakan oleh Allah. (lihat As-Syu'ara'/ 26: 139).

Kaum Nabi Shaleh 'alaihissalam angkuh, kafir, dan menyembelih unta yang tidak boleh diganggu, maka diadzab dengan gempa yang dahsyat. (Lihat Al-A'raaf/ 7:77, 78).

Kaum Nabi Luth 'alaihissalam yang kafir termasuk juga isterinya, dan mereka yang homoseks diadzab Allah dengan buminya dibalik, serta dihujani batu panas. ( lihat Huud/ 11: 82-83).

Fir'aun dan wadyabalanya yang kafir telah diberi bala' berupa taufan, belalang, kutu, kodok, dan darah; kemudian minta agar dimohonkan oleh Nabi Musa 'alaihissalam untuk dilepaskan dari adzab itu. Setelah dilepaskan oleh Allah adzabnya lalu mereka kafir lagi, maka Allah tenggelamkan mereka di laut. (Lihat Al-A'raaf/ 7:133, 134, 135, 136).

Kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan-tangan manusia. ( lihat Ar-Ruum/ 30: 41).

Kaum Nabi Syu'aib 'alaihissalam di Madyan diadzab dengan gempa hingga jadi mayat-mayat yang bergelimpangan karena kekafiran mereka dan curang dalam menakar dan menimbang. (lihat QS Al-A'raaf: 85-93).

Qarun yang kaya raya lagi sombong dan berbuat aniaya maka diadzab Allah dengan dibenamkan ke bumi beserta harta bendanya. (lihat QS Al-Qashash/ 28: 76-82).

Adzab dan Murka Allah

Siksaan-siksaan, adzab, bala', dan murka Allah terhadap Ummat Islam pun akan terjadi apabila manusia Muslim itu telah melakukan kemaksiatan yang nyata. Siksaan itu di antaranya seperti hadits berikut ini:

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menghadap pada kami dan bersabda: "Wahai sekalian orang-orang Muhajirin, lima cobaan apabila menimpa kalian (maka tidak ada kebaikannya, atau kalian akan tertimpa macam-macam adzab seperti yang akan disebutkan ini) dan aku berlindung kepada Allah semoga kalian tidak menjumpainya".

Tidaklah kekejian (zina) tampak nyata di suatu kaum sama sekali, hingga mereka berterang-terangan dengannya, kecuali akan tersebar di kalangan mereka wabah penyakit dan penyakit-penyakit yang belum pernah berlangsung di kalangan orang-orang yang mendahului mereka yang telah berlalu (meninggal).

Dan tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali akan diadzab dengan paceklik dan sulitnya bahan kebutuhan dan dhalimnya penguasa atas mereka.

Dan tidaklah mereka mencegah (atau tidak mau membayar) zakat harta-harta mereka kecuali mereka dicegah akan turunnya hujan dari langit, dan seandainya tidak karena adanya binatang-binatang ternak pasti mereka tidak dihujani.

Dan tidaklah mereka melanggar janji Allah dan janji RasulNya (yang berlangsung antara mereka dan orang-orang yang jadi musuh) kecuali Allah menguasakan musuh atas mereka dari orang selain mereka, lalu mereka (musuh itu) mengambil sebagian apa-apa yang di tangan mereka.

Dan selama pemimpin-pemimpin mereka tidak menghukumi dengan kitab Allah, dan mereka memilih-milih dari apa-apa yang telah Allah turunkan niscaya Allah akan menjadikan saling berkeras-kerasan di antara mereka. (HR Ibnu Majah, dalam Az-Zawaaid disebutkan: baik untuk diamalkan).

Siksa berat atas yang kejam dan ahli maksiat

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Dua macam manusia dari ahli neraka yang aku belum melihatnya sekarang, yaitu: (pertama) kaum yang membawa cemeti-cemeti seperti ekor-ekor sapi, mereka memukul manusia dengannya; dan (kedua) wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berjalan dengan menggoyang-goyangkan pundaknya dan berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk onta yang condong. Mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapat wanginya, dan sungguh wangi surga telah tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian." (HR Muslim, dan Ahmad dari Abi Hurairah, Shahih).

Masyarakat menuju murka Allah

Ancaman bagi orang yang keras, kejam, dan dhalim tak berperikemanu-siaan. Itu semua menuju kepada kemur-kaan Allah. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits: "Sesungguhnya ada suatu kaum yang dulunya mereka itu orang-orang yang lemah dan melarat, mereka diserang oleh orang-orang perkasa dan sengit, lalu Allah memenangkan orang-orang yang lemah itu (mengalahkan) atas orang-orang yang perkasa, lalu kaum lemah (yang kemudian dimenangkan oleh Allah) itu memperlakukan musuh mereka, lantas mempekerjakan dan menguasai mereka, maka menjadikan Allah marah terhadap mereka (yang sok kuasa itu) sampai hari qiyamat." (HR Ahmad, isnadnya hasan).

Artinya, mereka yang lemah itu ketika mereka menguasai yang kuat lalu menganiayanya, lantas mempekerjakannya dalam hal yang tidak pantas untuknya. Mereka (yang lemah kemudian jadi penguasa) itu menjadikan Allah marah atas mereka dengan sebab kedhaliman ini. (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, hal 309, penjelasan ayat 190 surat Al-Baqarah).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Ada tiga macam orang yang shalatnya tidak diangkat sejengkal pun di atas kepala mereka (tidak diterima). Yaitu (pertama) laki-laki yang memimpin suatu kaum, sedang mereka benci kepadanya. (Kedua) perempuan yang tidur malam sedang suaminya dalam keadaan marah kepadanya. (Ketiga), dua saudara yang memutuskan hubungan kekeluargaan." (HR Ibnu Majah, dengan sanad hasan).

Ancaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang hampir serupa ditandaskan pula:
"Apabila zina dan riba telah tampak terang-terangan di suatu desa maka sungguh mereka telah menempatkan diri mereka pada adzab Allah." (HR At-Thabrani dan al-Hakim dari Ibnu Abbas, shahih).

Tidak menggubris agama

Pasangan dari pelanggaran yang mengikuti syahwat faraj dan syahwat perut serta hawa nafsu itu adalah meninggalkan perhatian terhadap agama. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun mengancamnya: "Apabila kalian (ummat Islam) berjual beli 'inah (satu jenis jual beli yang hukumnya riba), dan mengikuti ekor-ekor sapi (senang beternak), dan senang dengan pertanian, dan meninggalkan jihad; maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, kehinaan itu tidak dicabut (oleh Allah) kecuali kalau kalian kembali kepada agama kalian." (HR. Abu Daud dari Ibnu Umar, dan riwayat Al-Bukhari).

Kalau dibiarkan, maka adzab Allah akan menimpa kepada seluruhnya. Termasuk pula orang-orang yang baik, walaupun nantinya di akherat mendapat ampunan dan keridaan Allah . Namun bala' yang menimpa di dunia akan mengenai kesemuanya. Sebagaimana dinyatakan dalam Hadits:

"Jika maksiat-maksiat telah merajalela di dalam ummatku maka Allah meratakan adzab dari sisi-Nya kepada mereka. Lalu aku (Ummu Salamah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) bertanya: Wahai Rasulallah, apakah pada hari itu tidak ada (lagi) orang-orang shaleh/ baik? Beliau menjawab: Masih ada. Aku bertanya: Lalu bagaimana mereka berbuat? Beliau menjawab: Mereka ditimpa musibah-musibah yang menimpa para manusia, kemudian mereka akan mendapatkan ampunan dan keridhoan dari Allah". (HR Ahmad dari Ummu Salamah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam VI/ 304 atau no.26122, Al-Haitsami mengatakan, hadits ini rijalnya shahih).

Mudah-mudahan kita mampu menghindari aneka maksiat dan tidak menyetujui atau mendukung apalagi membiarkan kemaksiatan. Semoga kita bisa kembali kepada diinullah secara konsekuen dan istiqamah, sehingga murka Allah dan siksaNya akan dicabut dan tidak menimpa kepada kita. Amien. (Dept. Ilmiah).

Rujukan: Tafsir Ibnu Katsir, Faidhul Qadir Syarh Al-Jami' As-Shaghir, dan kitab lainnya.

Sunday, August 2, 2009

Sepuluh Langkah menyambut Ramadhan




1. Berdoalah agar Allah swt. memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu dengan bulan Ramadan dalam keadaan sehat wal afiat. Dengan keadaan sehat, kita bisa melaksanakan ibadah secara maksimal di bulan itu, baik puasa, shalat, tilawah, dan dzikir. Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.” Artinya, ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikan kami ke bulan Ramadan. (HR. Ahmad dan Tabrani)

Para salafush-shalih selalu memohon kepada Allah agar diberikan karunia bulan Ramadan; dan berdoa agar Allah menerima amal mereka. Bila telah masuk awal Ramadhan, mereka berdoa kepada Allah, ”Allahu akbar, allahuma ahillahu alaina bil amni wal iman was salamah wal islam wat taufik lima tuhibbuhu wa tardha.” Artinya, ya Allah, karuniakan kepada kami pada bulan ini keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman; dan berikan kepada kami taufik agar mampu melakukan amalan yang engkau cintai dan ridhai.

2. Bersyukurlah dan puji Allah atas karunia Ramadan yang kembali diberikan kepada kita. Al-Imam Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata, ”Dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungannya.” Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan. Maka, ketika Ramadan telah tiba dan kita dalam kondisi sehat wal afiat, kita harus bersyukur dengan memuji Allah sebagai bentuk syukur.

3. Bergembiralah dengan kedatangan bulan Ramadan. Rasulullah saw. selalu memberikan kabar gembira kepada para shahabat setiap kali datang bulan Ramadan, “Telah datang kepada kalian bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).

Salafush-shalih sangat memperhatikan bulan Ramadan. Mereka sangat gembira dengan kedatangannya. Tidak ada kegembiraan yang paling besar selain kedatangan bulan Ramadan karena bulan itu bulan penuh kebaikan dan turunnya rahmat.

4. Rancanglah agenda kegiatan untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadan. Ramadhan sangat singkat. Karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah.

5. Bertekadlah mengisi waktu-waktu Ramadan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah, maka Allah akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” [Q.S. Muhamad (47): 21]

6. Pelajarilah hukum-hukum semua amalan ibadah di bulan Ramadan. Wajib bagi setiap mukmin beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan hukum berpuasa sebelum Ramadan datang agar puasa kita benar dan diterima oleh Allah. “Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui,” begitu kata Allah di Al-Qur’an surah Al-Anbiyaa’ ayat 7.

7. Sambut Ramadan dengan tekad meninggalkan dosa dan kebiasaan buruk. Bertaubatlah secara benar dari segala dosa dan kesalahan. Ramadan adalah bulan taubat. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” [Q.S. An-Nur (24): 31]

8. Siapkan jiwa dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs. Hadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa. Sehingga secara mental kita siap untuk melaksanakan ketaatan pada bulan Ramadan.

9. Siapkan diri untuk berdakwah di bulan Ramadhan dengan:
  • buat catatan kecil untuk kultum tarawih serta ba’da sholat subuh dan zhuhur.
  • membagikan buku saku atau selebaran yang berisi nasihat dan keutamaan puasa.
10. Sambutlah Ramadan dengan membuka lembaran baru yang bersih. Kepada Allah, dengan taubatan nashuha. Kepada Rasulullah saw., dengan melanjutkan risalah dakwahnya dan menjalankan sunnah-sunnahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturrahmi. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.

(Disadur dari artikel kiriman seorang sahabat)
Sumber : www.dakwatuna.com