Nama Bayi Laki-Laki Dan Perempuan

Friday, October 23, 2009

Hukum Ikhtilath Dalam Belajar




Bolehkah dalam belajar berikhtilath (campur baur tanpa ada hijab/ pemisah) dengan laki-laki yang bukan mahram?
(6281514xxxxxx@satelindogsm.com)

Jawab :
Di dalam syariat yang mulia ini, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram diharamkan bercampur baur dalam satu tempat tanpa adanya hijab/ pemisah antara keduanya (ikhtilath). Sama saja apakah ikhtilath itu terjadi di pasar, kantor, tempat pesta ataupun di tempat pengajaran ilmu seperti sekolah, madrasah, dan semisalnya. Karena dalam agama ini disyariatkan hijab1 antara laki-laki dan perempuan dan diperintahkan kepada masing-masing untuk menundukkan pandangan mata dari melihat hal-hal yang dapat menjerumuskan ke dalam fitnah2 seperti lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya. Sementara ikhtilath merupakan penghalang terbesar untuk melaksanakan ketentuan agama tersebut. Dengan seringnya bersama-sama di bangku sekolah, sering bertemu, saling melempar pandangan dan ucapan, terjadilah apa yang terjadi dari fitnah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan fitnah ini dalam sabdanya yang agung:


“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau. Dan sungguh Allah menjadikan kalian berketurunan di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.” (HR. Muslim)

Demikian bahayanya akibat yang ditimbulkan ikhtilath ini berupa kerusakan moral dan akhlak, sepantasnya kita tidak meremehkan dengan alasan darurat dan semisalnya. Tapi sikap yang semestinya kita ambil adalah berhati-hati dan menjaga diri dari ikhtilath ini.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah ketika memberikan fatwa dalam permasalahan di atas beliau menyatakan: “Duduknya siswa dan siswi secara bersama-sama di bangku sekolah termasuk sebab terbesar terjadinya fitnah dan sebab ditinggalkannya hijab yang Allah syariatkan kepada kaum mukminat. Serta merupakan sebab dilanggarnya larangan-Nya kepada kaum mukminat untuk menampakkan perhiasan mereka di hadapan selain pihak-pihak yang disebutkan dalam surat An-Nur.”
Beliau rahimahullah juga menyatakan: “Para wanita (shahabiyyah) di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah ikhtilath dengan lelaki (para shahabat) baik di masjid ataupun di pasar, sebagaimana ikhtilath yang diperingatkan oleh orang-orang yang ingin mengadakan perbaikan di hari ini dan Al-Qur’an, As-Sunnah serta ulama umat ini telah memberikan bimbingan untuk menjauhinya karena khawatir dari fitnahnya.

Dulunya para wanita biasa ikut shalat di masjid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam namun mereka berada di belakang laki-laki pada shaf-shaf yang terakhir yang dinyatakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling awal dan sejelek-jeleknya adalah yang paling akhir. Sementara shaf wanita yang terbaik adalah yang paling akhir dan shaf yang paling jelek adalah yang paling depan.” (HR. Muslim)

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan demikian karena khawatir laki-laki yang ada di shaf paling belakang terfitnah dengan wanita yang berada di shaf terdepan mereka.

Kaum lelaki (para shahabat) di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintah untuk tidak bersegera bangkit dari tempat shalatnya sampai para wanita berlalu dan keluar dari masjid, hal ini dilakukan agar lelaki tidak bercampur dengan para wanita di pintu-pintu masjid, padahal kita tahu keberadaan keimanan dan ketakwaan para shahabat dan shahabiyyah, maka bagaimana dengan keadaan orang-orang setelah mereka.

Kaum wanita dilarang oleh Rasulullah untuk berjalan di tengah jalan bahkan mereka diperintah untuk selalu berjalan di pinggir jalan karena dikhawatirkan akan bersenggolan dengan lelaki dan timbul fitnah dengan saling bersentuhannya sebagian mereka terhadap sebagian yang lain ketika berjalan di jalanan.

Terhadap ucapan orang yang mengatakan: “Kenyataan yang ada kaum muslimin sejak masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mereka menunaikan shalat di satu masjid, laki-laki dan wanita, karena itulah pengajaran ilmu harus pula dilakukan di satu tempat.”

Maka dijawab bahwa hal itu benar adanya akan tetapi kaum wanita berada di belakang dengan berhijab, menjaga diri dari sebab-sebab yang dapat mengantarkan kepada fitnah sementara laki-laki berada di bagian depan. Kaum wanita ini mendengarkan nasehat, khuthbah dan ikut shalat berjamaah serta mempelajari hukum-hukum agama dari apa yang mereka dengar dan saksikan. Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Id mendatangi tempat mereka untuk memberikan nasehat dan peringatan setelah beliau menasehati kaum lelaki, dikarenakan tempat mereka jauh dari tempat laki-laki sehingga mereka tidak dapat mendengar nasehat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Lalu bagaimana bisa disamakan pengajaran di masa kita ini dengan shalatnya laki-laki dan wanita dalam satu masjid di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?

Karena itulah orang-orang yang mengadakan perbaikan menyerukan agar kaum wanita dipisah dengan kaum lelaki dalam pendidikan/sekolah-sekolah, laki-laki di satu tempat, wanita di tempat lain. Sehingga memungkinkan bagi kaum wanita ini untuk mempelajari ilmu dari pengajar/ guru wanita dengan nyaman tanpa mereka harus berhijab dan tanpa kesulitan, karena waktu ta‘lim itu panjang berbeda dengan waktu mengerjakan shalat. Dan juga wanita belajar ilmu dari pengajar wanita di tempat yang khusus lebih menjaga bagi semua pihak dan lebih menjauhkan dari sebab-sebab yang mengantarkan kepada fitnah dan lebih menyelamatkan bagi para pemuda dari fitnah. Selain itu memisahkan pemuda dan pemudi dalam pengajaran/ sekolah lebih memusatkan perhatian pemuda kepada pelajaran mereka dan menyibukkan diri dengannya, serta mendengarkan penjelasan guru/pengajar dengan baik. Mereka dijauhkan dari memperhatikan para pemudi, menyibukkan diri dengan mereka, saling pandang memandang dengan pandangan beracun dan saling mengucapkan kata-kata yang mengajak kepada kefajiran.” (Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah no. 15, hal. 6-11, sebagaimana dinukil dalam kitab Hukmul Ikhtilath fit Ta‘lim)

Dari penjelasan ini dapat kita simpulkan bahwa ikhtilath merupakan perkara yang dilarang dalam agama ini sehingga seorang lelaki tidak boleh berikhtilath dengan seorang wanita dan namanya ikhtilath tetap dilarang meskipun untuk kepentingan belajar.
Wallahu a‘lam bish-shawab.


1 Lihat pembahasan hijab dalam Asy Syariah Vol. I /No. 08/1425 H/ Juli 2004, hal. 68-71
2 Lihat pembahasan fitnah laki-laki dan perempuan dalam Asy Syariah Vol I/No. 02/Mei 2003/Rabiul Awwal 1424, hal. 46-49

Sunday, October 18, 2009

Ikhlas Tempat Persinggahan




Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah

Pengantar:
Dalam kitab Madarijus Salikin, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menyebutkan tempat-tempat persinggahan Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in diantaranya adalah ikhlas. Berikut ini saya kutipkan beberapa penggal alenia yang tercantum dalam pasal ini. Bagi yang menginginkan uraian lebih lanjut saya persilahkan membaca langsung dari sumbernya. (ALS)

Sehubungan dengan tempat persinggahan ikhlas ini Allah telah berfirman di dalam Al-Qur'an, (artinya):
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus." (Al-Bayyinah: 5)
"Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (Az-Zumar: 2-3)
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya." (Al-Mulk: 2)
Al-Fudhail berkata, "Maksud yang lebih baik amalnya dalam ayat ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar."
Orang-orang bertanya, "Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar itu ?"

Dia menjawab, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah." Kemudian ia membaca ayat, (artinya): "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya." (Al-Kahfi: 110)

Allah juga berfirman, (artinya):
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?" (An-Nisa': 125)
Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Sunnah beliau.

Allah juga berfirman, (artinya):
"Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (Al-Furqan: 23)
Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau dimaksudkan bukan karena Allah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Sa'ad bin Abi Waqqash, "Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan, hingga engkau mengerjakan suatu amal untuk mencari Wajah Allah, melainkan engkau telah menambah kebaikan, derajad dan ketinggian karenanya."

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, (artinya):
"Tiga perkara, yang hati orang mukmin tidak akan berkhianat jika ada padanya: Amal yang ikhlas karena Allah, menyampaikan nasihat kepada para waliyul-amri dan mengikuti jama'ah orang-orang Muslim karena doa mereka meliputi dari arah belakang mereka." (HR. At-Thirmidzi dan Ahmad)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang berperang karena riya', berperang karena keberanian dan berperang karena kesetiaan, manakah diantaranya yang ada di jalan Allah? Maka beliau menjawab, "Orang yang berperang agar kalimat Allah lah yang paling tinggi, maka dia berada di jalan Allah.

Beliau juga mengabarkan tiga golongan orang yang pertama-tama diperintahkan untuk merasakan api neraka, yaitu qari' Al-Qur'an, mujahid dan orang yang menshadaqahkan hartanya; mereka melakukannya agar dikatakan, "Fulan adalah qari', fulan adalah pemberani, Fulan adalah orang yang bershadaqah", yang amal-amal mereka tidak ikhlas karena Allah.

Di dalam hadits qudsi yang shahih disebutkan; "Allah berfirman, 'Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuan dari sekutu-sekutu yang ada. Barangsiapa mengerjakan suatu amal, yang di dalamnya ia menyekutukan selain-Ku, maka dia menjadi milik yang dia sekutukan, dan Aku terbebas darinya'." (HR. Muslim)
Di dalam hadits lain disebutkan; "Allah berfirman pada hari kiamat, 'Pergilah lalu ambillah pahalamu dari orang yang amalanmu kamu tujukan. Kamu tidak mempunyai pahala di sisi Kami'."

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian dan tidak pula rupa kalian, tetapi Dia melihat hati kalian." (HR. Muslim)

Banyak difinisi yang diberikan kepada kata ikhlas dan shidq, namun tujuannya sama. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menyendirikan Allah sebagai tujuan dalam ketaatan. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya membersihkan perbuatan dari perhatian manusia, termasuk pula diri sendiri. Sedangkan shidq artinya menjaga amal dari perhatian diri sendiri saja. Orang yang ikhlas tidak riya' dan orang yang shidq tidak ujub. Ikhlas tidak bisa sempurna kecuali shidq, dan shidq tidak bisa sempurna kecuali dengan ikhlas, dan keduanya tidak sempurna kecuali dengan sabar.

Al-Fudhail berkata, "Meninggalkan amal karena manusia adalah riya', Mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah jika Allah memberikan anugerah kepadamu untuk meninggalkan keduanya."
Al-Junaid berkata, "Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat sehingga dia menulis-nya, tidak diketahui syetan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui hawa nafsu sehingga dia mencondongkannya."
Yusuf bin Al-Husain berkata. "Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya' dari hatiku, tapi seakan-akan ia tumbuh dalam rupa yang lain."

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Ikhlas artinya membersihkan amal dari segala campuran." Dengan kata lain, amal itu tidak dicampuri sesuatu yang mengotorinya karena kehendak-kehendak nafsu, entah karena ingin memperlihatkan amal itu tampak indah di mata orang-orang, mencari pujian, tidak ingin dicela, mencari pengagungan dan sanjungan, karena ingin mendapatkan harta dari mereka atau pun alasan-alasan lain yang berupa cela dan cacat, yang secara keseluruhan dapat disatukan sebagai kehendak untuk selain Allah, apa pun dan siapa pun."

Dipetik dari: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, "Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, Edisi Indonesia: Madarijus Salikin Pendakian Menuju Allah." Penerjemah Kathur Suhardi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, Cet. I, 1998, hal.

Tuesday, October 13, 2009

KEBIAASAN TERSEMBUNYI [ONANI]




Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani) ?

Jawaban
Melakukan kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta penelitian yang benar.

Al-Qur’an mengatakan.

“Artinya : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampui batas” [Al-Mu’minun : 5-7]

Siapa saja mengikuti dorongan syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya, maka ia telah “mencari yang di balik itu”, dan berarti ia melanggar batas berdasarkan ayat di atas.

Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya”
Pada hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani itu boleh, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Oleh karena beliau tidak menganjurkannya, padahal mudah dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui bahwa melakukan onani itu tidak boleh.

Penelitian yang benar pun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Ada bahayanya yang kembali kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada fikiran dan juga kepada sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan.

[As-ilah Muhimmah Ajaba ‘Alaiha Ibnu Utsaimin, hal. 9]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]

Thursday, October 8, 2009

BERDIRI UNTUK MENYAMBUT YANG DATANG




Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ketika seseorang masuk, sementara kami sedang duduk di suatu majlis, para hadirin berdiri untuknya, tapi saya tidak ikut berdiri. Haruskah saya ikut berdiri, dan apakah orang-orang itu berdosa ?

Jawaban
Bukan suatu keharusan berdiri untuk orang yang datang, hanya saja ini merupakan kesempurnaan etika, yaitu berdiri untuk menjabatnya (menyalaminya) dan menuntunnya, lebih-lebih bila dilakukan oleh tuan rumah dan orang-orang tertentu. Yang demikian itu termasuk kesempurnaan etika. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri untuk menyambut Fathimah, Fathimah pun demikian untuk menyambut kedatangan beliau [1]. Para sahabat Radhiyallahu ‘anhum juga berdiri untuk menyambut Sa’ad bin Mu’adz atas perintah beliau, yaitu ketika Sa’ad tiba untuk menjadi pemimpin Bani Quraizah.

Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu ‘anhu juga berdiri dan beranjak dari hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu datang setelah Allah menerima taubatnya, hal itu dilakukan Thalhah untuk menyalaminya dan mengucapkan selamat kepadanya, kemudian duduk kembali [3]. (Peristiwa ini disaksikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak mengingkarinya). Hal ini termasuk kesempurnaan etika. Permasalahannya cukup fleksible.

Adapun yang mungkar adalah bediri untuk pengagungan. Namun bila sekedar berdiri untuk menyambut tamu dan menghormatinya, atau menyalaminya atau mengucapkan selamat kepadanya, maka hal ini disyari’atkan. Sedangkan berdirinya orang-orang yang sedang duduk untuk pengagungan, atau sekedar berdiri saat masuknya orang dimaksud, tanpa maksud menyambutnya atau menyalaminya, maka hal itu tidak layak dilakukan. Yang buruk dari itu adalah berdiri untuk menghormat, sementara yang dihormat itu duduk. Demikian ini bila dilakukan bukan dalam rangka menjaganya tapi dalam rangka mengagungkannya.

Bediri untuk seseorang ada tiga macam

Pertama.
Berdiri untuknya sebagai penghormatan, sementara yang dihormat itu dalam keadaan duduk, yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh rakyat jelata terhadap para raja dan para pembesar mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa hal ini tidak boleh dilakukan, karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh para sahabatnya untuk duduk ketika beliau shalat sambil duduk, beliau menyuruh mereka supaya duduk dan shalat bersama beliau sambil duduk{4]. Sesuai shalat beliau bersabda.

“Artinya : Hampir saja tadi kalian melakukan seperti yang pernah dilakukan oleh bangsa Persia dan Romawi, mereka (biasa) berdiri untuk para raja mereka sementara para raja itu duduk” [5]

Kedua.
Berdiri untuk seseorang yang masuk atau keluar tanpa maksud menyambut/mengantarnya atau menyalaminya, tapi sekedar menghormati. Sikap seperti ini minimal makruh. Para sahabat Radhiyallahu ‘anhu tidak pernah berdiri untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau datang kepada mereka, demikian ini karena mereka tahu bahwa beliau tidak menyukai hal itu.

Ketiga.
Berdiri untuk menyambut yang datang atau menuntunnya ke tempat atau mendudukannya di tempat duduknya dan sebagainya. Yang demikian ini tidak apa-apa, bahkan termasuk sunnah, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka.

[Majmu’ Fatawa Ibn Baz, Juz 4, hal.396]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]

Saturday, October 3, 2009

Terjadinya Kiamat Menurut Islam




Beriman kepada hari qiyamat merupakan unsur pokok keimanan dalam Islam. Tanpa beriman kepada hari qiyamat, iman seseorang tidak akan diterima. Sebagaimana tidak diterima apabila tidak beriman kepada Allah, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan qadha qadar dariNya.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
"...Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan hari kemudian (qiyamat), maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya."(An-Nisaa':136).

Mengenai kepastian adanya Hari Qiyamat itu sendiri Allah menegaskan dalam firman-firmanNya, diantaranya:
"Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-sekali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan , kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."(At-Taghabun/ 64:7).

Allah subhannahu wa ta'ala berfirman pula, yang artinya:
"...serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (qiyamat) tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka." (As-Syura/ 42:7)

Dan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala yang artinya:
"Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami." (An-Naml/ 27:82).

Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala yang artinya:
"Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar (hari qiyamat), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir." (Al-Anbiyaa': 96-97).

Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala yang artinya:
"Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka pada hari itu terjadilah qiyamat, dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan malaikat menjunjung 'Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka. Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah). Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: Ambillah, bacalah kitabmu (ini). Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab (perhitungan) terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat, (kepada mereka dikatakan): Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu. Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: Wahai alangkah baiknya sekiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku. (Allah berfirman): Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin."(Al-Haaqqah/ 69:13-34).

Masih banyak ayat-ayat lain di dalam Al-Qur'an yang menegaskan tentang hari qiyamat.

Tanda-tanda qiyamat

Adapun tanda-tanda qiyamat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan dengan beberapa haditsnya. Diantaranya:
"Sesungguhnya qiyamat itu tidak akan terjadi sebelum adanya sepuluh tanda-tanda qiyamat, yaitu tenggelam di Timur, tenggelam di Barat, tenggelam di Jazirah Arab, adanya asap, datangnya Dajjal, Dabbah (binatang melata yang besar), Ya'juj dan Ma'juj, terbit matahari dari sebelah barat, keluar api dari ujung Aden yang menggiring manusia, dan turunnya Nabi Isa."(Hadits Riwayat Muslim).

Penjelasan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya yang lain:
"Dajjal datang kepada umatku dan hidup selama 40 tahun, lalu Allah mengutus Isa bin Maryam, kemudian ia mencari Dajjal dan membinasakannya. Kemudian selama 70 tahun manusia hidup aman dan damai, tak ada permusuhan antara siapapun. Sesudah itu Allah meniupkan angin yang dingin dari arah negeri Syam (kini Suriah, pen). Maka setiap orang yang dalam hatinya masih ada kebajikan meskipun sebesar atom, pasti menemui ajalnya. Bahkan jika seandainya seseorang dari kamu masuk ke dalam gunung, pasti angin itu mengejarnya dan mematikannya. Maka sisanya tinggal orang-orang jahat seperti binatang buas (fii khiffatit thoiri wa ahlaamis sibaa'), mereka tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran. Dan syetan menjelma pada mereka (manusia) lalu berkata: Maukah kamu mengabulkan? Manusia berkata: Apa yang akan kamu perintahkan kepada kami? Syetan lalu memerintahkan kepada mereka agar menyembah berhala, sedang mereka hidup dalam kesenangan. Kemudian ditiuplah sangkakala. Tapi seorangpun tak akan mendengarnya kecuali orang yang tajam pendengarannya. Dan orang yang pertama kali mendengarnya yaitu seorang laki-laki yang mengurusi untanya. Nabi bersabda: Maka matilah semua manusia. Kemudian turunlah hujan seperti hujan gerimis. Maka keluarlah dari situ jasad manusia (dari kubur-kuburnya). Kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu. Lalu dikatakan kepada mereka: Wahai manusia, marilah menghadap kepada Tuhanmu dan merekapun berada di Mahsyar karena mereka akan diminta tanggung jawabnya. Kemudian dikatakan kepada mereka, pergilah kamu karena neraka telah dinyalakan, lalu dikatakan lagi: Dari berapakah? Lalu dikatakan lagi: Dari setiap seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang. Begitulah keadaannya pada hari anak dijadikan beruban dan pada hari betis disingkap (hari Qiyamat yang menggambarkan orang sangat ketakutan yang hendak lari karena huru-hara Qiyamat)." (Hadits Riwayat Muslim).

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika berkhutbah:
"Wahai manusia, bahwasanya kamu nanti akan dihimpun Allah dalam keadaan telanjang kaki, telanjang bulat, dalam keadaan kulup (tidak dikhitan). Ingatlah bahwa orang yang mula-mula diberi pakaian adalah Ibrahim AS. Ingatlah bahwa nanti ada di antara umatku yang didudukkan di sebelah kiri. Ketika itu aku berkata: Ya Tuhan, (mereka itu adalah) sahabatku. Lalu Tuhan berkata: Engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat sesudah kamu (wafat)."(HR Muslim).

Pertanggung jawaban

Mengenai pertanggungan jawab perbuatan, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Pada hari Qiyamat, setiap hamba tak akan melangkah sebelum ditanya empat hal, yaitu tentang umur untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia amalkan, hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan, dan (kesehatan) badannya untuk apa ia pergunakan."(HR Tirmidzi, hadits hasan shahih, dan teks ini menurut riwayat Muslim).

Tentang dahsyatnya keadaan Qiyamat sampai manusia tak ingat pada lainnya, adapun penjelasannya:
"Dari Aisyah , Bahwa ia teringat Neraka lalu menangis, maka Rasulullah ` bertanya: Apa yang menyebabkan engkau menangis? Aisyah menjawab: Aku teringat pada Neraka, hingga aku menangis. Apakah pada hari Qiyamat kamu akan ingat pada keluargamu? Jawab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : Adapun di tiga tempat, orang tidak teringat pada yang lainnya, yaitu ketika ditimbang amalnya sebelum dia mengetahui berat ringannya amal kebaikannya. Ketika buku catatan amalnya beterbangan sebelum dia mengetahui di mana hinggapnya buku itu, di sebelah kanan, kiri, atau di belakangnya. Dan ketika meniti titian/jembatan (shirath) yang terbentang di punggung neraka Jahannam sebelum dia melaluinya."(HR Abu Daud, hadits hasan).

Itulah peristiwa Qiyamat yang wajib kita yakini beserta tanda-tandanya. Semuanya itu merupakan hal yang ghaib, hanya Allah yang mengetahui, sedang Nabi shallallahu 'alaihi wasallammengkhabarkan itu dari wahyu Allah. Maka hal-hal yang tak sesuai dengan penjelasan Allah dan RasulNya mesti kita tolak, meskipun datangnya dari orang yang mengaku intelek, pakar, ataupun mengaku telah menyelidiki bertahun-tahun dengan metode yang disebut ilmiah dan canggih. Sebaliknya, kalau itu datang dari Allah dan RasulNya, maka wajib kita imani. Dan beriman kepada Hari Qiyamat itu merupakan halyangtermasuk pokok di dalamIslam seperti tersebut di atas. Mengingkarinya berarti rusak keimanannya. (Hartono).

Rujukan: Minhajul Muslim , oleh Abu Bakr Al-Jazairi, Darul Fikr.