Nama Bayi Laki-Laki Dan Perempuan

Monday, July 6, 2009

BERAKHLAK BAIK DAN PENTINGNYA BAGI PENUNTUT ILMU




Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah

Wahai saudara-saudara sekalian, (pada) kesempatan baik ini saya akan menyampaikan pembicaraan tentang berakhlak baik. Dan akhlak, sebagaimana dikatakan ulama adalah gambaran batin manusia, karena (pada dasarnya) manusia mempunyai dua bentuk, bentuk luar (yaitu fisik) yang Allah ciptakan badan padanya. Dan sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bentuk luar ini ada yang diciptakan dalam bentuk yang indah, dan ada yang diciptakan dalam bentuk yang buruk, dan ada yang diciptakan dalam bentuk diantara keduanya. Dan bentuk batin (demikian juga) ada yang baik dan ada yang buruk, serta ada yang diantara keduanya, dan bentuk batin inilah yang dikatakan sebagai akhlak.

Jika demikian halnya, maka yang dinamakan akhlak adalah : “Gambaran batin, dimana manusia berwatak seperti gambaran batin itu”. Dan sebagaimana akhlak itu merupakan suatu tabiat (pemberian Allah), sesungguhnya akhlak baik juga dapat diperoleh dengan berusaha untuk berakhlak baik, artinya bahwa (ada) manusia yang diciptakan Allah dalam keadaan berperangai baik, dan terkadang ada yang memperoleh akhlak baik itu dengan cara berusaha dan memaksa (serta mengalahkan jiwa untuk berakhlak baik) - oleh karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada (sahabat yang bernama) Al Asaj bin Qais :

"Artinya : Sesunggunhya dalam dirimu terdapat dua perangai yang dicintai Allah, yaitu sabar dan tenang, (lalu) Al Asaj bin Qais berkata : Wahai Rasulullah, apakah dua perangai itu aku yang membikin (mengusahakan untuk berakhlak sabar dan tenang) ataukah Allah telah ciptakan keduanya untukku? Beliau bersabda : “Allah menciptakanmu dalam keadaan berakhlak sabar dan tenang ”.

Maka ini adalah dalil bahwa akhlak mulia itu terjadi melalui tabiat (pembawaan asli), dan bisa juga terjadi dari usaha untuk berakhlak mulia. Akan tetapi, akhlak mulia yang lahir dari tabiat, tentu lebih baik dari akhlak mulia yang terjadi dari hasil usaha untuk berakhlak mulia. Karena jika akhlak itu terlahir dari tabiat, ia akan menjadi karakter dan pembawaan bagi manusia yang tidak membutuhkan usaha membiasakan dan melatihnya. Akan tetapi, ini adalah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang tidak diciptakan dalam keadaan berakhlak baik, sesungguhnya ia dapat memperolehnya dari jalan berusaha untuk berakhlak baik itu, dengan cara membiasakan dan memaksa (serta mengalahkan jiwa untuk berakhlak baik) sebagaimana kami akan menyebutkannya insya Allah.

Dan banyak manusia berprasangka bahwa berakhlak baik hanyalah dilakukan dalam bermuamalah dengan makhluk, tanpa bermuamalah dengan Allah. Akan tetapi ini adalah pemahaman yang sempit (dalam memahami makna berakhlak baik), karena sesungguhnya berakhlak baik itu sebagaimana dilakukan dalam bermuamalah dengan mahluk, juga dilakukan dalam bermuamalah dengan Al Khaliq (Sang Pencipta). Maka pembahasan tentang berakhlak baik adalah bermuamalah dengan Allah dan bermuamalah dengan mahluk.

Maka apakah yan dimaksud dengan berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah ? Berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah terkumpul dalam tiga perkara :

1. Menerima berita-berita dari Allah (Al Qur'an) dengan membenarkannya.
2. Menerima hukum-hukum Allah dengan cara mengamalkannya.
3. Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha.

Maka dalam tiga hal inilah berkisar sesuatu yang berkenaan dengan berakhlaq baik dengan Allah.

PERTAMA : MENERIMAN BERITA-BERITA DARI ALLAH (AL-QUR'AN) DENGAN MEMBENARKANNYA.

Di mana (artinya adalah) tidak terdapat keraguan dalam diri manusia atau kebimbangan dalam membenarkan berita dari Allah (Al Qur’an) , karena berita dari Allah bersumber dari ilmu yaitu Allah Dzat yang paling benar perkataannya. Sebagaimana firman Allah :

“Artinya : Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah” [An Nisa : 87]

Dan wajib membenarkan berita dari Allah dengan sikap mempercayainya, membelanya, berjihad dengannya, dimana keraguan dan kebimbangan terhadap Al Qur’an dan hadits tidak memasukinya. Dan jika seseorang menampakkan akhlak seperti ini, maka mungkin baginya untuk menolak setiap subhat (kerancuan) yang dibawa oleh orang-orang yang menentang terhadap Al Hadits, baik itu mereka yang menentang dari kalangan orang muslim yang mengadakan perbuatan bid’ah (perkara yang tidak ada contohnya dari Allah dan Rasul-Nya) atau orang-orang non muslim yang melemparkan subhat dalam hati kaum muslimin. Dan kami beri contoh tentang hal itu :

Tersebut dalam shahih Bukhari sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Jika lalat terjatuh dalam minuman salah seoran dari kalian, maka hendaklah ia benamkan lalat itu kedalam minuman, lalu setelah itu hendaknya ia membuang lalat itu, karena sesunguhnya di dalam salah satu sayapnya terdapat penyakit, dan disayap lainnya terdapat obat” [Bukhari 5782]

Ini adalah berita dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam perkara-perkara yang ghaib, Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan dari hawa nafsunya, tetapi yang beliau Shallallahu alaihi wa sallam ucapkan adalah wahyu Allah. (Hal ini) karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah manusia, sedangkan manusia tidak mengetahui hal-hal yang ghaib, bahkan Allah berfirman kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Artinya : Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku." [Al An’am : 50]

Berita ini (hadits tentang lalat), wajib bagi kita menerimanya dengan akhak yang baik. Dan berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerimanya serta menetapkan bahwa hadits yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah haq dan benar, walaupun ditentang orang yang menentangnya. Dan kita mengetahui dengan seyakin-yakinnya, bahwa pendapat yang menyelisihi hadits yang benar keshahihannya dari Rasulullah r adalah (pendapat) batil, hal ini karena Allah berfirman :

“Artinya : Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan” [Yunus : 32]

Contoh lainnya :
Dari peristiwa hari kiamat, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa matahari berada dekat dengan manusia pada hari kiamat seukuran saru mil. Baik itu mil "al-makhalah" (ukuran jaraj) atau mil perjalanan. Jarak ini (antara matahari dan manusia) dekat sekali, tetapi manusia tidak terbakar oleh panasnya, padahal kalau matahari saat ini (didunia) dekat sekali pasti dunia terbakar. Maka terkadang seseorang berkata : “Bagaimana matahari berada dekat kepala-kepala manusia pada hari kiamat sejarak ukuran ini lalu manusia tidak terbakar ? maka dimanakah akhlak yang baik terhadap hadits ini? Berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerima dan membenarkannya, dan hendaknya tidak terdapat dalam hati kita kesempitan, kegalauan dan kebimbangan. Dan hendaknya kita mengetahui bahwa hadits yang diberitakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini adalah haq dan tidak mungkin kita mengqiyaskan (menyerupakan) keadaan-keadaan di akhirat berdasarkan keadaan-keadaan didunia, (hal ini) karena adanya perbedaan besar. Maka jika keadaannya demikian, maka seorang yang beriman akan menerima hadits semisal ini dengan lapang dada dan ketenangan, dan pemahaman tentangnya akan bertambah luas, inilah (berakhlak baik) terhadap berita-berita (dalam Al Qur’an dan hadits).

KEDUA : MENERIMA HUKUM-HUKUM ALLAH DENGAN BENTUK MENGAMALKANNYA

Sesungguhnya berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah dalam hal yang berkaitan dengan hukum-hukumNya adalah (dengan cara) menerima, mengamalkan dan merealisasikannya, serta tidak menolak sedikitpun hukum-hukum Allah. Jika seseorang mengingkari suatu hukum Allah, maka tindakan ini adalah (termasuk) berakhlak buruk kepada Allah.

Kami akan memberikan permisalan tentang puasa. Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah (amalan) yang berat bagi manusia, karena dalam ibadah puasa seseorang (harus) meninggalkan hal-hal yang diingini, seperti makanan, minuman, dan jima’. (Dan) Ini adalah suatu perkara yang berat. Akan tetapi seorang yang beriman, ia akan berakhlak baik kepada Allah, menerima beban syariat ini, dan menerima kemuliaan ini, dan hal ini adalah nikmat dari Allah, ia akan menerimanya dengan lapang dada dan ketenangan, jiwanya luas, dan kamu akan mendapatinya berpuasa pada siang hari yang panas sedangkan ia dalam keadaan ridha, lapang dada, karena ia berakhlak baik kepada Penciptanya, akan tetapi orang yang berakhlak buruk kepada Allah akan “menemui” ibadah seperti ini dengan keluh kesah, kebencian. Dan andaikata ia takut kepada suatu perkara yang tidak baik akibatnya niscaya ia tidak akan berpuasa.

Contoh yang lainnya adalah shalat :
Tidak dapat diragukan lagi bahwa puasa adalah ibadah yang berat bagi sebagian manusia, dan shalat itu ibadah yang berat bagi orang-orang munafik, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Artinya : Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya’ dan shalat subuh" [Bukhari & Muslim]

Akan tetapi shalat bagi orang yang beriman adalah “qurratu aini” (penghibur hati) dan menenangkan jiwanya.

"Artinya : Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan)shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`,(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya".[Al Baqarah : 45-46]

Shalat bagi orang yang beriman bukanlah hal yang berat, bahkan shalat itu ringan dan mudah (bagi mereka yang beriman). Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Dijadikan pelipur lara hatiku dalam shalat"

Maka berakhlak baik kepada Allah dalam masalah shalat ini, yaitu anda menunaikan shalat dengan lapang dada, tenang, dan kedua matamu mendapatkan pelipur lara jika engkau sedang mengerjakan dan menunggunya jika waktu shalat telah lewat, maka jika engkau telah mengerjakan shalat subuh, engkau dalam kerinduan kepada shalat dzuhur, dan jika engkau telah shalat dzuhur engkau dalam kerinduan kepada shalat ashar, dan jika engkau telahmengerjakan shalat ashar engkau dalam kerinduan kepada shalat maghrib, dan jika engkau telah shalat maghrib engkau dalam kerinduan kepada shalat isya’, dan jika engkau telah selesai mengerjakan shalat isya engkau dalam kerinduan kepada shalat subuh. Demikianlah, hatimu selalu teringat dengan shalat-shalat. Hal seperti, tidak dapat diragukan lagi termasuk berakhlak baik kepada Allah.

Dan kami berikan contoh ketiga dalam masalah muamalah :

Dalam masalah muamalah, Allah mengharamkan riba bagi kita dengan pengharaman yang jelas dalam Al Qur’an.

"Artinya : Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" [Al Baqarah : 275]

Dan Allah berkata tentang riba :

"Artinya : Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Penciptanya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya" [Al Baqarah : 275]

Allah mengancam orang yang kembali melakukan riba sesudah datang kepadanya nasehat dan mengetahui hukumnya dengan ancaman akan memasukkannya kekalkedalam neraka, (kita mohon perlindungan kepada Allah darinya).

Orang yang beriman akan menerima hukum ini dengan lapang dada, ridha dan menyerah (tunduk). Adapun orang yang tidak beriman, ia tidak akan menerimanya dan hatinya sempit dengan hukum ini. Ia akan berusaha mengadakan berbagai siasat dan cara, karena kita mengetahui bahwa bahwa didalam riba terdapat penghasilan yang pasti keutungannya dan tidak terdapat didalamnya perniagaan yang belum diketahui (untung dan rugi), akan tetapi pada hakikatnya riba adalah penghasilan bagi seseorang dan penganiayaan bagi yang lain. Oleh karena Itu Allah berfirman :

"Artinya : Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” [Al Baqarah : 279]
ADAPUN PERKARA KETIGA DALAM PEMBAHASAN BERAKHLAK BAIK KEPADA ALLAH ADALAH :

Ridha dan sabar pada taqdir-taqdir Allah, dan kita semua telah mengetahui bahwa taqdir-taqdir Allah yang Allah timpakan kepada mahluk-Nya, sebagiannya sesuai dan sebagiannya tidak disukai.

Apakah sakit disukai manusia ? (tidak sama sekali). Manusia menyukai sehat.

Apakah kefakiran disukai manusia ? Tidak, manusia menyukai menjadi orang kaya.

Apakah bodoh disukai manusia ? tidak, manusia menyukai menjadi seorang yang pandai (alim).

Akan tetapi taqdir Allah dengan hikmah-Nya bermacam-macam, sebagiannya ada yang disukai manusia dan ia lapang dada dengan taqdir sesuai dengan tabiatnya, dan sebagiannya tidak demikian halnya. Maka bagaimanakah berakhlak baik kepada kepada Allah terhadap taqdir-taqdir-Nya ?

Berakhlak baik kepada Allah berkenaan dengan taqdir-taqdir-Nya adalah dengan sikap engkau ridha dengan apa yang Allah taqdirkan bagimu, dan hendaknya engkau merasa tenang pada taqdir itu, dan hendaknya engkau mengetahui bahwa tidaklah Allah mentakdirkan bagimu melainkan dengan hikmah dan tujuan yang terpuji serta patut dipuji dan syukur. Dan berdasarkan hal ini, berakhlak baik kepada Allah berkenaan dengan taqdir-taqdir-Nya adalah ridha, menyerah dan merasa tenang. Oleh karena itu Allah memuji orang-orang yang sabar yaitu orang –orang yang apabila ditimpa dengan suatu musibah mereka berkata :

"Artinya : Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kita kembali” [Al-Baqarah : 156]

Dan Allah berfirman :

"Artinya : Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" [Al Baqarah : 155]

Dan kita meringkas pembahasn yang di atas bahwa berakhlak baik sebagaimana terjadi kepada makhluk juga terjadi kepada Al Khalik (Allah), dan yang dimaksud berakhlak baik kepada Allah adalah menerima Al Qur’an dengan membenarkannya, dan “menemui” hukum-hukumnya dengan menerima serta mengamalkannya, dan menerima taqdir-taqdir-Nya dengan sabar, dan ridha, inilah yang dimaksud berakhlak baik terhadap Allah.

Adapun berakhlak baik terhadap mahluk, sebagian ulama menerangkan dan menyebutkan dari Hasan Al Basri bahwa berakhlak baik adalah : mencegah gangguan, mengerahkan kedermawanan, dan berwajah ceria.

Tiga perkara :

[1]. Mencegah gangguan [Kaffu Al-Adzdzaa]
[2]. Dermawan [Badzlu An-Nadaa]
[3]. Berwajah ceria [Tholaaqotu Al-wajhi]

Pertama : MENCEGAH GANGGUAN [Kaffu Al-Adzdzaa]

Apakah makna "Mencegah gangguan " Maknanya adalah bahwa seseorang mencegah (dirinya) untuk mengganggu orang lain, baik itu gangguan yang berhubungan dengan harta, jiwa, atau kehormatan. Barangsiapa tidak menahan dirinya dari mengganggu orang lain, maka ia tidak mempunyai akhlak yang baik, dan ia berakhlak jelek. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memberitahukan dihadapan sejumlah besar umat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan haji wada’)

"Artinya : Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, pada bulan kalian ini, dinegeri kalian ini” [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]

Jika seseorang berbuat aniaya kepada manusia dengan melakukan pengkhianatan, atau berbuat aniaya dengan memukul, dan kejahatan, atau berbuat aniaya kepada manusia dalam kehormatannya, atau mencela, atau ghibah (menggunjing hal-hal yang jelek), maka hal ini bukanlah termasuk berakhlak baik kepada manusia, karena ia tidak menahan (dirinya) dari mengganggu orang. Dan dosanya semakin besar manakala perbuatan aniaya itu dilakuakan kepada seseorang yang mempunyai hak paling besar padamu. Berbuat jahat kepada kedua orangtua misalnya, lebih besar (dosanya) dari berbuat jahat kepada selain keduanya, dan berbuat jahat kepada karib kerabat lebih besar (dosanya) dari berbuat jahat kepada orang yang lebih jauh, dan berbuat jahat kepada tetangga lebih besar dosanya dari berbuat jahat kepada selain tetanggamu, oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Demi Allah, demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman, ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Siapa wahai Rasulullah ? beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya".

Dalam riwayat Muslim :

"Artinya : Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya”
Kedua : DERMAWAN[Badzlu An-Nadaa]

Makna "Dermawan" [Badzlu An-Nadaa] : Yaitu engkau mendermawakan kedermawanan. Dan Kedermawan itu artinya bukanlah sebagaimana yang difahami oleh sebagian manusia, yaitu engkau mendermakan harta (hanya bermakna ini), tetapi yang dimaksud dermawan adalah mendermakan jiwa, kedudukan dan harta.

Jika kita melihat seseorang memenuhi kebutuhan manusia, membantu mereka, membantu mengarahkan mereka kepada seseorang yang mereka tidak mampu (menemuinya kecuali dengan perantaraannya) hingga berhasil (menemui) nya, atau menyebarkan ilmu diantara manusia, mendermakan hartanya kepada manusia, maka kami mensifatinya sebagai orang yang berakhlak baik, karena ia mendermakan kedermawanan, oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kalian berada, ikutilah perbuatan jahat dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan jahat, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik" [Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Darimi]

Dan makna hal itu adalah jika engkau dianiaya atau dipergauli dengan perbuatan buruk maka engkau memaafkan. Dan sungguh Allah telah memuji orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia, Allah berfirman tentang penghuni surga :

"Artinya : (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan)orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" [Ali Imran :134]

Dan Allah berfirman

"Artinya : Dan pema`afan kamu itu lebih dekat kepada takwa” [Al Baqarah : 237]

"Artinya : Dan hendaklah mereka mema`afkan dan berlapang dada" [An Nur : 22]

Dan Allah berfirman :

"Artinya : Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah" [Asy Syuura : 40]

Seseorang yang berhubungan dengan manusia lainnya, mesti akan mengalami suatu gangguan, maka sepatutnya sikapnya dalam menghadapi gangguan ini adalah hendaknya memaafkan dan berlapang dada. Dan hendaknya ia mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa sikap pemaaf dan lapang dadanya dan harapannya untuk mendapatkan balasan kebaikan kelak di akhirat (dapat mengakibatkan) permusuhan antara dia dengan saudaranya menjadi kasih sayang dan persaudaraan. Allah berfirman :

"Artinya : Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia" [Al Fushilat : 34]

Maka apakah yang lebih baik ? bersikap buruk atau baik ? (tentu) bersikap baik, dan perhatikanlah wahai orang yang mengerti bahasa Arab, bagaimana datang hasil yang diperoleh dengan “idza Al fujaiyyah” yang menunjukkan kejadian langsung dalam hasil yang diperolehnya :

"Artinya : Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia" [Al Fushilat : 34]

Akan tetapi apakah setiap orang mendapatkan petunjuk untuk mengamalkan hal ini ?

Tidak, :

"Artinya : Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar" [Al Fushilat : 35]

Dan disini terdapat masalah :
Apakah kita memahami dari keterangan ini memaafkan orang yang berbuat jahat secara mutlak (merupakan tindakan) terpuji dan diperintahkan ? Akan tetapi, hendaknya kalian ketahui bahwa memaafkan itu akan terpuji, jika sikap memaafkan itu lebih terpuji. Maka jika sikap memaafkan lebih terpuji, maka sikap itu lebih utama. Oleh Karena itu Allah berfirman :

"Artinya : Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah" [Asy Syuura : 40]

Allah menjadikan sikap memaaf diiringi dengan (kata) berbuat baik (pada ayat di atas). Maka apakah mungkin sikap memaafkan tanpa diiringi berbuat baik ?

Jawabannya : Ya, mungkin, terkadang seseorang berani dan berbuat aniaya padamu, dan ia seorang yang dikenal jahat dan berbuat kerusakan oleh manusia. Kalau engkau memaafkannya ia akan terus dalam perbuatan jahatnya dan berbuat kerusakan. Maka sikap apakah yang lebih utama dalam kondisi ini ? kita maafkan atau kita membalas kejahatannya ? yang lebih utama adalah membalas kejahatannya. Karena dengan sikap ini terdapat sikap berbuat baik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Memperbaiki itu wajib, dan memaafkan itu dianjurkan".

Maka jika dalam sikap memaaf itu terlewatkan sikap berbuat baik, maka maknanya bahwa kita mendahulukan anjuran daripada kewajiban, dan hal ini tidak ada dalam syariat. Dan Ibnu Taimiyyah benar (semoga Allah merahmatinya